BIR CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, anda tentu pernah mengenal Gus Mik, pengembara yang punya nama asli K.H.Hamim Jazuli, Ploso Kediri itu. Pesantrennya, beliau bilang sendiri, Gang Dolly, orang memanggil bukan Abah pada umumnya di Pesantren tetapi orang-orang Dolly memanggil kemesraan dengan sebutan Papi. Kalau berbicara tidak pernah ditekan, malah model berbisik, selalu didahului nuwun sewu (mohon maaf ya), menunjukkan kesadaran bahwa pendapatnya bukan satu-satunya yang benar, merendah luar biasa.

Tidak pernah pidato, hanya doa-doa, kalau beliau datang ke majlis Mantap semua hadirin tutup, menanti doa itu, Gus Mik juga diam lama banget, ujungnya berbisik lembut: Al-Fatihah. Puluhan ribu hadirin baru bubar setelah seharian suntuk menyimak kalamullah, ditutup beliau dengan Fatihah itu, selesai.

Rokoknya Wismilak, biasa tanpa peci, apalagi udeng2 kayak ban pespaku ini, biasa pakai kaos biasa, jam tangan Rolex, celana jins, tentu alaskaki sandal biasa. Semua Ulama memasang foto beliau di rumah-rumahnya. Dalam khususon arwah, nama beliau disebut setelah ratusan kekasih Allah di-Fatihahi. Suka membagi nasi bungkus dengan jumlah ribuan untuk orang-orang terbuang di kota, lalu bersama mereka tidur dengan alas koran bekas, di emper tokonya temen2 Cina, sampai kesiangan. Tidak pernah mengritik pihak lain, apalagi meremehkan, apalagi memperolok-olok, apalagi, menghina, apalagi menyalahkan, apalagi mebid'ahkan, apalagi mengkhurofatkan, apalagi mentahayulkan, apalagi menyirikkan, apalagi melaknat, apalagi mengkafirkan, apalagi memunafikkan, apalagi, apalagi, apalagi.

Mulut beliau hanya menebar senyum, senyum keikhlasan, ya keikhlasan. Senangnya silaturrahmi, tanpa tepi. Orang sekelas mBah Hamid Pasuruan diminta komentar kepada beliau hanya menjawab: aku belum bisa sekelas Gus Mik. Kalau ditanya soal syariat, selalu selalu mengalihkan hal-hal yang non syar'i, beayanya sebaiknya untuk memasakkan anak-anakmu, menyukupi kebutuhan keluargamu, untuk membahagiakan manusia tanpa batas.

Gus Dur itu manifesta adabnya. Pernah beliau bilang sama Gus Dur, nanti yang mati Kiai Sidiq dulu, lalu Gus Muk, baru Gus Dur, ternyata benar adanya. Kalau punya duit, ia datangi pelacur, beliau tanya berapa pendapatan sehari. Kalau sudah tahu, uang beliau hitung dibagi harian itu pelacur lalu bilang: aku bisa membebaskan dirimu tidak di Dolly sekian hari. Gitu.

Ketika beliau meninggal, seluruh orang--tanpa batas--melayat, kayak Gus Dur itu meninggal, persis. Setiap khoulnya, semua perusahan ambil peran, entah rokok, entah minuman, entah konsumsi, brekat, sampai melimpah ruah. Do'anya aku wiridkan dengan nada menangis lembut : Ya Allah jama'ah nyuwun gesang berkah istiqomah, panjang umur sregep ngibadah, pinaringan pejah khusnul khotimah, Ya Allah Panjenengan dandosi jama'ah niki, lahir batin sarono manah sae lan suci, Ya Allah jama'ah nyuwun langgeng emut Panjenengan, Ya Allah jama'ah nyuwun pinter nyukuri kanikmatan....

Kawan-kawan, aku sendiri kalau pas mendengar jama'ah menjawab: amiiin ya Allah ya rahmanu ya rohim, antal jawadul halim wa anta nikmal mu'in, aku pasti menangis bahagia, ya bahagia tiada tara. Aku merasakan samudra hati beliau, samudra cinta.

Pernah beliau trek-trekkan minuman bir sama seseorang. Orang itu merasa kalah, lalu bertanya kepada Gus Mik dalam landasan dalil-dalil juga: kenapa Kiai kok minum bir yang memabukkan ini, bagi Papi kok tidak mabuk. Gus Mik menjawab--tentu dengan berbisik lembut: aku buang kelaut, kalau kamu punya duit belikan beras saja untuk anak-anakmu. Kenapa aku minum sekian banyak kok tidak mabuk, karena aku buang ke laut untuk mengajarimu cinta, cinta seluas samudra. Ke laut bagaimana--tanya santri Dolly itu. Gus Mik dengan lembut tangannya melambai memanggil orang itu, dengan berbisik --nyuwun sewu-- di telinga orang itu: lihatlah mulutku. Begitu Gus Mik membukakan mulut beliau,dalam pandangan mata hati orang itu kerongkongan beliau ternyata laut itu....

Santri itu sekarang menjadi orang saleh diantara ribuan yang pernah menemukan pengalaman agamawi seperti itu, dari Gus Mik, aku sendiri tidak menangi hidup baliau, tetapi aku temukan jejak-jejak cintanya melalui murid-murid cinta seperti yang aku kisahkan ini, dan menghadiahiku biografi orang tercinta ini....

Aku tangsi orang yang tanpa cinta telah ribuan terusir dari cahaya karena kebencian dihatinya.....

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel