SIAPA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, perjalanan hidup ini teramat sangat panjang--bagi Ruh malah
abadi--bagai melintasi sahara tanpa tepi, sampai akhirat menanti.
Masing-masing diri dan kelompoknya merupakan kafilah-kafilah pelintas
tanpa batas itu, yang diantara mereka akan saling menolong dan
melayani--menurut Rumi: setiap ikat pinggang kependetaan akan mewujud
dalam bentuk pelayanan kemanusiaan.
Kanjeng
Nabi saw juga menyatakan: orang akan dikumpulkan menurut siapa yang
dicintai. Jadinya,kalau masing-masing diri dan kelomok ini memang
menuju titik Yang Satu itu, maka jangan ada diantara kelompok: saling
mengejek, saling menghina, saling memperolok, saling meremehkan,
saling menghakimi, saling mendengki, saling riya', saling ujub,
saling menyombongi, saling menjelekkan satu kelompok dengan kelompok
yang lain.
Misalnya
hari ini [Selasa, 16 Desember 2010], ada yang merayakan hari raya
Idul Qurban dan shalat Ied di lapangan atau halaman masjid--ada juga
di dalam masjid. Namun ada yang akan merayakan hal ini besok pagi,
sesuai dengan keyakinan kelompoknya masing-masing itu. Terlepas dalam
tinjauan benar dan salahnya, masing-masing memiliki keyakinan yang
benar--menurut kelompoknya, ini saja cukup menjadi alasan bahwa
sebuah tindakan harus "direlakan", karena masing-masing
diri dan kelompok ini akan menghadapi penilaian sejati di hari-hari
perhitungan nanti, selesai.
Bagi
orang yang berhari raya dengan menunggu saat Idul Fitri atau Idul
Adlha, sebagai ungkapan rasa syukur atau kegembiraan berdasarkan
"peraturan" tahunan ini tidak salah [masing-masing punya
dasar dan alasan], tetapi ada juga orang yang merasa gembira bukan
saja di hari-hari raya tahunan tetapi setiap hari bahkan setiap
detik, karena orang semacam ini merasa gembira bukan sekedar
berdasarkan kalkulasi minimal itu, namun berdasar atas adanya Tuhan
bermahkota di hatinya, sepanjang waktu. Bahkan dalam berkurban juga
demikian, tidak hanya sekedar ketika menunggu hari raya Qurban tetapi
setiap waktu dirinya dikorbankan [tidak sekedar harta dan menyembelih
hewan] dengan cara menyembelih banyak keinginan hayawaniyah yang ada
dalam dirinya, demi kebaikan bersama baik diri, keluarga, masyarakat
dan bangsa bahkan dunia raya ini.
Orang-orang
semacam ini biasanya "disembunyikan" Tuhan [mastur], bagai
mutiara disembunyikan Dia di kedalaman samudra itu, bila orang akan
menemukan mutiara itu harus membawa sarana: perahu, melintasi
gelombang lalu menyelam dan menjinakkan ikan-ikan yang "berthawaf"
pada mutiara itu--baru bisa memethiknya. Dari metafor ini menunjukkan
bahwa, kelompok-kelompok itu bagai perahu dengan segenap
penumpangnya, sementara gelombang itu merupakan syarat "syari'ah"
yang harus dilaluinya walau dengan membayar kesulitan dan derita, dan
mutiaranya adalah hakekat yang dituju, yakni pencarian "harta
tersembunyi" yang tak ternilai itu--dariNya.
Pertanyaanya
adalah: bisakah orang menemukan mutiara bila dikala masih dalam
pengarungan samudra itu sudah saling bertengkar dan bentrok atau
perang antar perahu itu? Kalau sampai terjadi pertengkaran antar
kelompok itu, Rumi menyatakan: pertengkaran orang dewasa sama tidak
berartinya pertengkaran anak-anak kecil itu--orang Jawa bilang mburu
uceng kelangan deleg. Kalau aku dengar, semua target
kelompok-kelompok itu adalah surga namun kelucuannya adalah surga itu
hanya akan dihuni oleh kelompok itu karena merekalah yang "paling
benar" itu.
Aku
sebut lucu karena bukankah surga itu seluas langit dan bumi yang tak
bertepi ini, yang bisa dan muat di huni oleh semua makhlukNya itu
sebagai "hidangan"Nya? Kalau semua tindakan keberibadatan
ini hanya ditujukan untuk mencapai karunia surga, mereka semua tidak
salah, tetapi ada kelompok yang melakukan tindakan keperibadatan itu
hanya menjadi "sarana" mendekat kepada yang membikin
surga--yakni Allah itu. Ya,makna Qurban itu adalah mendekat atau
"taqarrub", dimana mendekat itu tidak sekedar dengan
berbagai bentuk ritual keberagamaan, namun mencintai semua milikNya
dengan berbagai bentuk juga.
Namun
bila ada orang yang melakukan batas minimal dari cinta, yakni
melakukan sesuatu berdasar atas peraturan "syair'ah"
apalagi turun berdasar atas peraturan "fiqiyyah" [menurut
abstraksi kelompok itu], itupun sudah bagus--amalan shalihan
maqbulan. Tetapi ada yang melakukan berdasar akan cinta kepadaNya
semata, tak pamrih sekedar surga itu bahkan tak takut karena neraka
itu. Bagi pecinta sekelas ini bisa saja difahami, karena mereka
memiliki dasar juga bahwa Tuhan ada dimana-mana, dan dimana ada Tuhan
maka tak akan ada siksa atau neraka itu, makanya mereka dengan
prinsip ini memilki hari raya setiap saat, bukan karena merasakan
karunia bendawi tetapi karena mereka puas bahwa Tuhan bermahkota di
hati, itulah surganya mereka.
Mereka
ini punya ciri utama, yakni cintanya tak bertepi dan menghindar untuk
melaknati milikNya karena takut akan dimarahiNya itu. Mereka ini
selalu berhari raya, selalu berkurban, dan memiliki seruan: mari kita
huni surga bersama seluruh anak Adam, karena neraka itu tidak ada
bila Tuhan diyakini seyakin-yakinnya bahwa Dia ada dimana-mana,
bagaimana bisa ada neraka bila Tuhan ada dimana-mana itu....
Bergembiralah
kawan!!!!!
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.