TAKUT CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, ada sebuah lagu dari Broery Pesolima: bermacam kisah di
jalanan/insan membina kehidupan/tak sudilah gayanya yang
berangan-angan mimpikan kejayaan/ada yang mau jadi kaya/hidupnya
mewah dengan harta/tetapi sikapnya tak mau bekerja/akhirnya jadi
papa/ada yang unjuk gaya/istri cantik jelita/cintanya tak
setia/akhirnya ditertawa.
Lagu
ini aku kaitkan dengan ungkapan Kanjeng Nabi saw: pada suatu masa
umatku itu bagai makanan diatas nampan yang diperebutkan secara
rakus. Kemudian ada sahabat bertanya: apakah nanti jumlah umat itu
amat sedikit ya Rasulallah? Tidak--jawab Kanjeng Nabi, jumlahmu amat
banyak dan mayoritas tetapi mentalmu nanti seperti buih yang terapung
di atas air, hal itu karena mereka kalah dengan musuh-musuhnya dan
karena lemah mentalnya. Sahabat lalu bertanya lagi: lemah mental mana
yang dimaksud ya Rasulallah? Kanjeng Nabi saw menjawab singkat: cinta
dunia dan takut mati.
Penyakit
ini bisa kita runut dengan sangat jelas dalam kehidupan sosial
masyarakat, misalnya: banyak orang dengan segala cara ingin melampaui
hasil yang dicapai orang lain, ada yang ingin mulya hidupnya tetapi
tidak siap menempuhnya dengan syarat susah payah itu, ada yang ingin
nilai yang tinggi tetapi tidak mau belajar--akhirnya nyontek, ada
yang ingin untung besar dengan cara menipu konsumen, ada yang ingin
mencapai posisi yang tinggi dengan menyabotase teman kerjanya sendiri
atau menfitnahnya, ada yang ingin dikenal dengan mencopy karya orang
lain secara tak beradab, ada seorang istri yang ingin dihormati
suaminya dengan cara menyakiti dan tak menaruh hormat suami--selalu,
ada seorang suami yang ingin disayang istrinya dengan cara
meremeh-remehkan dan merendah-rendahkan istri, ada seorang pemimpin
yang ingin dicintai rakyatnya dengan cara tidak membikin senyum
rakyatnya, ada seorang pimpinan perusahaan ingin dihargai karyawan
dengan tidak memenuhi hak-haknya, ada seorang guru yang ingin
dita'dzimi murid dengan cara menyakitinya, ada seorang pedagang ingin
laris dengan cara menunjukkan ketakramahan dan ketakjujurannya, ada
yang, ada yang, ada yang dan seterusnya.
Keinginan
akan ketenaran, kejayaan, jabatan, keluhuran hidup seringkali--bahkan
banyak--membuat orang lupa diri dan serakah, ujung-ujungnya menempuh
dengan jalan "nrabas" atau menghalalkan segala cara demi
mencapai obsesi dan ambisinya itu. Inilah penyakit yang disebut
Kanjeng Nabi saw: cinta dunia dan takut mati itu. Bila hal ini
dilakukan, bisakah orang akan memperoleh sukses sejati yang penuh
kebahagiaan? Bisakah? Bisakah? Bisakah?
Rumus
dari Kanjeng Nabi saw: tidak akan dicintai bagi orang yang tidak
mencintai. Dunia diibaratkan Rumi bagai sebuah gunung itu, dimana
suara yang ditatapkan kepada gunung itu akan memantul kepada siapapun
gaungnya, kalau baik kembali baik dan kalau buruk kembali buruk,
ditelinga mereka "sendiri". Siapa menabur angin maka ia
akan menuai badai, barang siapa menabur kejahatan maka ia akan
memanennya sendiri kejahatan itu, setiap kebaikan sekecil apapun akan
ditampakkan dan keburukan seberat dzarrah pun bila dilakukan
seseorang maka ia ditampakkan pula pada diri mereka
sendiri--nantinya.
Adakah
seorang lahir dalam keadaan 'alim? Adakah jalan pintas dalam menempuh
semua kemulyaan dan kesuksesan hidup? Adakah cinta yang bisa
dinikmati dengan instan tanpa penempaan? Adakah seruling berbunyi
nyaring tanpa peniupan? Adakah biola bersuara tanpa penggesekan?
Adakah ketajaman pedang tanpa pengasahan? Adakah gamelan mengalun
tanpa penabuhan? Adakah gitar berdenting tanpa petikan? Adakah
gendang berbunyi tanpa pemukulan? Adakah, adakah, adakah, adakah....
Kawan-kawan,
dalam hal ini Kanjeng Nabi saw mengingatkan dengan adanya penyakit
itu, lalu menunjukkan terapinya dengan cara belajar dengan berbagai
aspek kehidupan ini, karena semua keberadaan ini wujud melalui
"sunnah"Nya, dimana syarat-syarat mencapai kejayaan atau
kesuksesan itu harus ditempuh bagi umatnya. Misalnya soal prasangka
masuk surga itu boleh-boleh saja tetapi syarat yang harus dibayarnya
adalah adanya kesunguhan hidup dan kesabaran itu, atau membayar
melalui penempaan sebagaimana yang pernah dialami orang-orang sebelum
kita--yakni salafushsholeh itu, sampai-sampai beliau-beliau itu
menggesa: kapan datang pertolonganMu ya Allah? Dan Allah pun
menjawab: amat dekat.
Ternyata
kedekatan dan keterjahuhan itu kita sendiri yang menentukan, sebagai
manifestasi hak "ikhtiar" yang sudah di"sunnah"kan
itu. Sudah menjadi pengetahuan umum tentang firman Dia: Allah tidak
akan merubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri yang
merubahnya. Jangan takut, Cinta akan memandu jalannya para pecinta,
segala sesuatu di alam ini memiliki siklus dan waktu untuk tumbuh
berkembang sampai sempurna. Kita itu bagai panah, orang tua busurnya,
sementara Dia Pembidiknya itu. Jangan takut, Cinta akan berbicara
bukan dengan sekedar kata tetapi dengan kenyataan-kenyataan hidup
ini, seluruhnya....
Hap!!!
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.