RUWET CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, terlepas dari berbagai komentar tentang musibah dan aneka
derita manusia ini, aku punya prasangka sendiri--mungkin ada yang
sama juga--bahwa semua yang terjadi ini bagian dari manifestasi
CintaNya itu, yang pada ujungnya akan berguna bagi milikNya--termasuk
manusia. Semesta tak hanya manusia, yang kesemuanya butuh akan
sentuhan kasih sayang dan cinta itu.
Dari
sini akan mengemuka kesadaran bahwa semua proses kejadian hidup
merupakan pahatan dari tanganNya yang Maha Lembut itu, dan masih
ditambah dengan sifat-sifat yang melengkapinya dari ke-Mahaan-Nya
itu. Kalau boleh disebut dalam bahasa tubuh ada proses metabolisme,
pemasukan dan pengeluaran yang pada akhirnya membentuk apa yang
disebut kesehatan itu.
Jadi
menurutku, hidup ini manakala kita prasangkai baik, apapun kejadian
akan nampak baik adanya. Bisa saja puncak derita itu andai berwujud
kematian, jangan diprasangkai kematian itu buruk dan tragedi, namun
bisa jadi lebih baik karena dari sanalah akan tumbuh kehidupan.
Sebaliknya apa dikira kita-kita yang hidup enak dan tidak menderita
atau tidak mati ini sebagai kebaikan? Boleh jadi kita dilahirkan ini
bagian membayar kesalahan sebelumnya, walau seenak apapun sekelas
imperium Fir'aun itu atau kegembiraan dalam bentuk yang lainnya.
Aku
sering menerima tamu-tamu yang mengesankan atas keruwetan hidup ini,
atau aku melihat layar-layar yang mengedepankan keruwetan hidup ini.
Aku tidak kaget--bukan tidak empaty--karena dalam sunnahNya, Dia
menyatakan dengan jelas : Sungguh Aku ciptakan manusia ini serba
ketemu ruwet. Keruwetan lahiriyah bisa kita rinci: tak punya
pekerjaan, miskin, kerjaan kurang sesuai dengan suasana hatinya,
sakit, mati, pencurian, perampokan, pembunuhan, kelaparan,
pencabulan, korupsi, nepotisme, belum ketemu jodoh, dan lain
sebagainya.
Sementara
keruwetan batiniyah tak kalah banyaknya: cemas, rindu, kecewa, iri,
hasud, takabur, ananiyah, ujub dan lain sebagainya itu. Banyak kita
saksikan manusia yang tidak kuat memanggul keruwetan itu, pada
akhirnya putus asa yang berujung pada bunuh diri, bisa saja ngomong
dengan tanpa menyadari bahwa hidup ini bukan kehendaknya, tetapi
diluar kehendaknya--siapa itu?
Orang-orang
bilang Tuhan, orang Jawa bilang Gusti Pangeran, orang Krsiten bilang
Allah, orang Yahudi bilang Iloh, orang Islam bilang Allah SWT, di
tempat lain ada yang bilang sesuai dengan leksikal bahasa mereka--itu
semua nama [aran-Jawa]. Tetapi apa yang mereka sebut semua itu tak
akan terungkap oleh sarana bendawi ini, Dia Misteri, Dia Misteri, Dia
Misteri.
Tetapi
ada sarana halus yang namanya hati, ia punya mata hati yang memandang
bahwa: yakin dibalik wujud ini ada yang mewujudkan itu. Dari Dialah
semua ini bergerak dengan keteraturan, berbentuk keindahan dan
bertaburan akan pesona-pesona tak bertepi itu, antara yang lahiriyah
dan batiniyah. Kalau orang merindukan akhlaknya, maka Dia mengutus
para kekasihNya sebagai parameter akhlak bagi hambanya, kalau orang
merindukan akan petunjuk maka Dia ciptakan panduan yang berbentuk
kalam dan peristiwa--atau ayat tertulis dan tidak tertulis itu. Kalau
orang merindukan pertimbangan, Dia anugrahi manusia akan akal yang
menimbang, kalau orang merindukan Dia maka ia anugrahi manusia akan
kalbu untuk "memandang"Nya itu.
Mau
makan, mau minum, mau menikah, mau, mau, mau, mau apa saja Dia
sediakan sarana dan prasarananya. Kalau toh ternyata ada keruwetan
itu sebenarnya hanya sebagian "kecil" dari anugrah yang tak
bertepi ini. Orang harus berfikir, manakala pesawat jatuh maka perlu
dikalkulasi berapa pesawat yang dengan dahsyat selamat mengantarkan
orang ke berbagai belahan bumi ini yang tidak jatuh. Kalau berfikir
sakit--dalam sesaat--maka kenanglah kesehatan yang telah melintasi
dan akan meniti waktu ini, kalau melihat gunung berhamburan meletus
maka kenanglah di hamparan semesta yang masih bergerak teratur dan
indah itu--tak bertepi.
Cuma
yang diajarkan Dia adalah sejauh mana ada peduli manakala saudara
[entah seagama, entah senegara atau entah semanusia] mengalami
keruwetan hidup saling menolong, itupun bagian bahwa mereka yang
peduli adalah kalamNya, lewat tangan merekalah Dia menjawab dengan
nyata ini--mereka berhak menyandang khalifahNya itu. Manakala kita
memandang samudra hanya melihat buih, maka samudra nampak buruk
semua--siapa yang salah tuh? Manakala manusia memandang saudaranya
hanya dari sisi keburukan dan kesalahannya, dan tidak memandang bahwa
di hatinya ada Dia bermahkota--siapa yang salah tuh?....
Kawan-kawan,
jadinya semua ini tergantung prasangka hamba kepadaNya itu. Misalnya
hamba ini berprasangka bahwa keruwetan ini bagian dari sarana Dia
menggosok kepribadian hamba, maka akan menjadi lain hasilnya. Bahkan
akan meminta: gosoklah daku walau dari debu biar menjadi mutiara,
inilah ruwet Cinta....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.