MENJENGUK CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, orang mengira keberagamaan bisa di tampilkan hanya
pernik-pernik tasbih dalam eksotika dzikir, keindahan sajadah dalam
kekhusu'an sembahyang atau kemegahan jubah dalam performen hidup,
keartistikan masjid, kemerduan lagu-lagu ruhani. Padahal keberagamaan
seseorang itu lebih nampak terang dan nyata dalam bentuk pelayanan
kepada kemanusiaan itu.
Di
dada manusialah Dia bermahkota, terutama bagi sedulur-sedulur atau
kita yang sedang hancur hatinya itu, tidak di tempat lain. Boleh saja
orang berkali-kali pergi ke rumah Allah dalam bentuk ibadah haji,
paling banter mereka menemukan ka'bah, padahal kalau orang mampu
membahagiakan hati manusia--terutama yang menderita--maka orang itu
akan menemukan bukan hanya sebuah ka'bah tetapi seribu ka'bah ada di
sana [di hati manusia itu]--kata Rumi.
Bukankah
parameter sebaik manusia adalah orang yang lebih bermanfaat bagi
sesama manusia? Bukankah orang yang paling dicintai Allah adalah
orang yang lebih berguna bagi sesama manusia? Bukankah pekerjaan yang
paling disenangi Allah adalah tindakan yang bila ditunaikan akan
membikin senang saudaranya? Bukankah agama-agama diturunkan
sebenarnya adalah jemariNya untuk memandu manusia supaya menemukan
kebahagiaan itu? Bukankah Al-Qur'an sendiri diturunkan untuk petunjuk
bagi manusia, secara universe itu? Bukankah ketika Dia menyatakan
dalam hadis Qudsi berbagai jeritan adalah merupakan suara-suara
sedulur kita yang menderita itu? Misalnya: Hai anak Adam, Aku sakit
kenapa engkau tak menjengukKu, Aku lapar kenapa kau tak memberiKu
makan, Aku haus mengapa engkau tak memberiKu minum, Aku telanjang
kenapa engkau tak memberiKu pakaian, Aku, Aku, Aku, Aku.
Dari
sinilah sebenarnya manusia harus menyadari bahwa keberagamaan harus
sampai pada sasaran puncak membikin senang [surur] saudaranya itu,
mereka semua adalah keluargaNya ini--bahkan semua makhluk itu. Maka
jadinya jangan syirik kalau orang mengaku beragama hanya nampak pada
dataran ritual an sich atau ibadah mahdhoh itu, disebut oleh Tuhan
sendiri sebagai "pendusta" agama, jangan marah kenyataannya
begitu, mau apa?
Makna
membela Tuhan itu di dalam perjuangan membahagiakan manusia, bukan
saja dalam kemegahan upacara-upacara agama, karena Dia tidak berada
di tempat-tempat ibadah itu, tetapi di dada manusia yang menderita
Dia bermahkota, di sinilah sebutan khalifah itu sebenarnya, bukan di
lembaga-lembaga agama yang tak peduli pada umatNya itu.
Coba
carilah dimana mereka itu sekarang, ketika bencana menimpa? Di mana
mereka itu? Ayo, dimana mereka itu? Di mana? Serta dimana orang-orang
yang berkata membela rakyat itu? Di mana? Di mana? Dan aku lihat
relawan-relawan itu ternyata orang-orang yang tidak punya apa-apa
kecuali hati yang diserahkan sepenuhnya kepadaNya, dari merekalah Dia
menitipkan kasih sayangNya itu. Mereka orang-orang yang tak punya
jabatan apa-apa, sebutan apa-apa, bahkan anak siapa dan bukan
siapa-siapa, yang berbicara bukan mulutnya tetapi seluruh dirinya
menjelma menjadi Cinta, yah Cintalah yang berkata-kata dengan
pelayanan nyatanya itu.
Merekalah
yang tidak takut mati, kaya tanpa harta, melabrak derita dengan diri
sepenuhnya, sakti tanpa senjata dan menang tanpa merendahkan orang
lain, dirinya wangi bagai bunga menebar aroma tanpa bicara, wangi
tiada tara akhlaknya, dan aku tidak tahu lagi agamanya apa mereka
itu, yang aku tahu adalah buah yang amat lezat di hati saudara yang
menderita itu--mereka menjenguk Cinta.
Merekalah
lasykar Cinta sebenarnya, merekalah tentara Cinta sejatinya,
merekalah pejabat Cinta sesungguhnya, merekalah ulama' Cinta tulen
sebagai pewaris NabiNya, merekalah polisi Cinta asli, merekalah
hakim-hakim Cinta yang cepat keputusannya, merekalah, merekalah,
merekalah....
Kawan-kawan,
orang-orang modern lari dari agama sebenarnya atas asumsi bahwa agama
ternyata lembaga yang mengambil dan merepotkan umatnya saja, mereka
minta dilayani atas nama Tuhan, lalu mereka menjadi liberal dan
sekuler. Namun ketika sekulerisme dan liberalisme dipraktekkan,
mereka tercebak kepada kemerdekaan yang semu dan membelenggu itu,
dengan bentuk nyata adanya dekadensi moral yang meresahkan diri
mereka sendiri: penyakit kelamin menggejala, rumah tangga sebagai
dasar masyarakat hancur, bayi-bayi tanpa ayah lahir dan manusia
mengalami alienansi akut, sehingga ujungnya mereka di sudut
sunyi--bukan menemukan keintiman padaNya--mereka putus asa lalu bunuh
diri dengan berbagai cara itu.
Kini
saatnya model keberagaman yang memberi dan melayani harus ditegakkan,
kesalehan bukan nampak hanya pada dataran bungkus luarnya tetapi pada
tindakan nyatanya itu dalam menunaikan Cinta. Singkatnya kawan:
jangan sekedar cinta agama, tetapi tegakkan agama dengan Cinta, di
sinilah makna menjenguk Tuhan itu,sebenarnya....
Punten,
Wallahu'alam Bishshowab...
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.