MENJENGUK CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, orang mengira keberagamaan bisa di tampilkan hanya pernik-pernik tasbih dalam eksotika dzikir, keindahan sajadah dalam kekhusu'an sembahyang atau kemegahan jubah dalam performen hidup, keartistikan masjid, kemerduan lagu-lagu ruhani. Padahal keberagamaan seseorang itu lebih nampak terang dan nyata dalam bentuk pelayanan kepada kemanusiaan itu.


Di dada manusialah Dia bermahkota, terutama bagi sedulur-sedulur atau kita yang sedang hancur hatinya itu, tidak di tempat lain. Boleh saja orang berkali-kali pergi ke rumah Allah dalam bentuk ibadah haji, paling banter mereka menemukan ka'bah, padahal kalau orang mampu membahagiakan hati manusia--terutama yang menderita--maka orang itu akan menemukan bukan hanya sebuah ka'bah tetapi seribu ka'bah ada di sana [di hati manusia itu]--kata Rumi.


Bukankah parameter sebaik manusia adalah orang yang lebih bermanfaat bagi sesama manusia? Bukankah orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang lebih berguna bagi sesama manusia? Bukankah pekerjaan yang paling disenangi Allah adalah tindakan yang bila ditunaikan akan membikin senang saudaranya? Bukankah agama-agama diturunkan sebenarnya adalah jemariNya untuk memandu manusia supaya menemukan kebahagiaan itu? Bukankah Al-Qur'an sendiri diturunkan untuk petunjuk bagi manusia, secara universe itu? Bukankah ketika Dia menyatakan dalam hadis Qudsi berbagai jeritan adalah merupakan suara-suara sedulur kita yang menderita itu? Misalnya: Hai anak Adam, Aku sakit kenapa engkau tak menjengukKu, Aku lapar kenapa kau tak memberiKu makan, Aku haus mengapa engkau tak memberiKu minum, Aku telanjang kenapa engkau tak memberiKu pakaian, Aku, Aku, Aku, Aku.


Dari sinilah sebenarnya manusia harus menyadari bahwa keberagamaan harus sampai pada sasaran puncak membikin senang [surur] saudaranya itu, mereka semua adalah keluargaNya ini--bahkan semua makhluk itu. Maka jadinya jangan syirik kalau orang mengaku beragama hanya nampak pada dataran ritual an sich atau ibadah mahdhoh itu, disebut oleh Tuhan sendiri sebagai "pendusta" agama, jangan marah kenyataannya begitu, mau apa?


Makna membela Tuhan itu di dalam perjuangan membahagiakan manusia, bukan saja dalam kemegahan upacara-upacara agama, karena Dia tidak berada di tempat-tempat ibadah itu, tetapi di dada manusia yang menderita Dia bermahkota, di sinilah sebutan khalifah itu sebenarnya, bukan di lembaga-lembaga agama yang tak peduli pada umatNya itu.


Coba carilah dimana mereka itu sekarang, ketika bencana menimpa? Di mana mereka itu? Ayo, dimana mereka itu? Di mana? Serta dimana orang-orang yang berkata membela rakyat itu? Di mana? Di mana? Dan aku lihat relawan-relawan itu ternyata orang-orang yang tidak punya apa-apa kecuali hati yang diserahkan sepenuhnya kepadaNya, dari merekalah Dia menitipkan kasih sayangNya itu. Mereka orang-orang yang tak punya jabatan apa-apa, sebutan apa-apa, bahkan anak siapa dan bukan siapa-siapa, yang berbicara bukan mulutnya tetapi seluruh dirinya menjelma menjadi Cinta, yah Cintalah yang berkata-kata dengan pelayanan nyatanya itu.


Merekalah yang tidak takut mati, kaya tanpa harta, melabrak derita dengan diri sepenuhnya, sakti tanpa senjata dan menang tanpa merendahkan orang lain, dirinya wangi bagai bunga menebar aroma tanpa bicara, wangi tiada tara akhlaknya, dan aku tidak tahu lagi agamanya apa mereka itu, yang aku tahu adalah buah yang amat lezat di hati saudara yang menderita itu--mereka menjenguk Cinta.


Merekalah lasykar Cinta sebenarnya, merekalah tentara Cinta sejatinya, merekalah pejabat Cinta sesungguhnya, merekalah ulama' Cinta tulen sebagai pewaris NabiNya, merekalah polisi Cinta asli, merekalah hakim-hakim Cinta yang cepat keputusannya, merekalah, merekalah, merekalah....


Kawan-kawan, orang-orang modern lari dari agama sebenarnya atas asumsi bahwa agama ternyata lembaga yang mengambil dan merepotkan umatnya saja, mereka minta dilayani atas nama Tuhan, lalu mereka menjadi liberal dan sekuler. Namun ketika sekulerisme dan liberalisme dipraktekkan, mereka tercebak kepada kemerdekaan yang semu dan membelenggu itu, dengan bentuk nyata adanya dekadensi moral yang meresahkan diri mereka sendiri: penyakit kelamin menggejala, rumah tangga sebagai dasar masyarakat hancur, bayi-bayi tanpa ayah lahir dan manusia mengalami alienansi akut, sehingga ujungnya mereka di sudut sunyi--bukan menemukan keintiman padaNya--mereka putus asa lalu bunuh diri dengan berbagai cara itu.


Kini saatnya model keberagaman yang memberi dan melayani harus ditegakkan, kesalehan bukan nampak hanya pada dataran bungkus luarnya tetapi pada tindakan nyatanya itu dalam menunaikan Cinta. Singkatnya kawan: jangan sekedar cinta agama, tetapi tegakkan agama dengan Cinta, di sinilah makna menjenguk Tuhan itu,sebenarnya....


Punten, Wallahu'alam Bishshowab...


catatan : 

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian. 


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel