AMPLOP CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, sebuah amanat mengisyaratkan tentang Cinta, karena ia
berurusan dengan keilahiyahan, antara sampai atau tidak Dialah
saksinya itu, wakafaa billahi syahiida. Aku merasa ngeri melihat
barang bantuan bencana ditilap pengantarnya, aku merasa ngeri
kabar-kabar tentang ketidak amanahan dengan berbagai bentuk di
manapun juga--termasuk di negri kita ini. Kengerian ini berdasar atas
perbandingan dalam kesaksianku terhadap sosok yang sederhana: bukan
pejabat, bukan polisi, bukan hakim, bukan apa-apa dan siapa-siapa.
Sosok
yang aku maksud adalah Simbah Arwani Kudus itu, yang menjadi
panutanku dalam pelayanan kepada masyarakat, dimana aku tidak mau
berbicara amplop, karena Cinta tidak bisa dibayar dengan lembaran
kertas itu, aku hanya ingin mengabulkan undangan siapa pun--termasuk
anda, tanpa transaksi. Aku amat bodoh dalam hal ini--biarlah--tanpa
mau merendahkan siapapun yang memiliki kecanggihan manajemen itu, aku
hanya memandang tanpa mau komentar, amalku amalku amalmu amalmu,
selesai kan?
Kalau
aku menerima amplop dari siapapun itu aku pandang sebagai hadiah,
dimana besar kecilnya tidak menjadi perhatianku atas perhitungan jauh
dekatnya, atau susah tidaknya perjalanan, dan penerimaanku ini
hanyalah bagian dari adab bahwa aku tak akan mengecewakan yang
memberi itu, titik [kalimat ini biasanya banyak yang menertawai
bahkan ada yang meledek: sama saja, hehe]. Ketika orang mengulurkan
tangannya kepadaku dengan mengatakan: ini untuk sekedar transportasi,
aku pun masih menerima dan aku pakai untuk belanja anak istri, tanpa
menyadari kata untuk "transportasi" itu.
Lain
halnya dengan Simbah Arwani itu [Allahu yarham], kata untuk
transportasi beliau pahami sebagai amanat bahwa uang dalam amplop itu
untuk diberikan kepada siapa pun yang mengantarkan sampai ke Kudus
itu, seluruhnya, ya seluruhnya. Kisahnya begini kawan: orang Jepara
ada yang mengundang semaan Simbah Arwani itu, jarak antara Kudus dan
Jepara 40 kilometer, kalau naik angkot [pada saat itu hanya seribu
rupiyah].
Semaan
itu sebuah perhelatan, dimana beliau membaca Al-Qur'an dengan hafalan
seharian penuh dan di semak banyak orang, untuk hajatan tertentu.
Sorenya, begitu beliau pamit pulang, si pengundang itu dengan
ketawadlu'an menyerahkan amplop kepada Simbah Arwani [yang didampingi
santrinya] dengan kalimat: meniko kangge transpot mBah [ini untuk
beaya transportasi mBah]. Di mata beliau kalimat ini dipandang
sebagai amanat itu, yang harus di sampaikan kepada sopirnya
nanti--seluruhnya. Ternyata benar adanya, begitu sampai gang menuju
Pesantren beliau [Yanbu'ul Qur'an], mobil berhenti lalu beliau
menyerahkan "amanat' itu kepada kernetnya. Begitu sampai
terminal Kudus, kernet itu bilang kepada sang sopir: ini aneh
biasanya dibayar uang ribuan, ini diserahkan amplop. Segeralah sang
sopir merobek amplop dan alangkah kagetnya bahwa amplop itu berisi
uang ribuan sebanyak 200 lembar [sebulan gaji dia menyopir itu], saat
itu tahun '60an.
Langsung
sopir itu tancap gas menuju Pesantren yang masyhur itu, begitu sampai
Pesantren disambut langsung orang yang terkenal ketawadlu'annya itu
[bahkan beliau tak pernah mendongakkan kepala]. Dengan tawadlu' juga
sopir matur [bilang]: mBah, menopo mboten klentu meniko arto sementen
kathahe, kan namung setungal ewu, meniko dalem aturaken panjenengan
malih [mBah Arwani, apa tidak salah ini, uang sedemikian banyak
membayarnya, kan cuma seribu beayanya, maka aku sampaikan mBah
kembali sisanya].
Tidak
Nak--jawab mBah Arwani lembut, itu sudah rejekimu, ambillah semuanya
Nak, aku ikhlas semoga menjadi rejeki yaqng berkah dalam hidupmu,
ambillah Nak....
Kawan-kawan,
sopir dan kernetnya berbalik dengan linangan airmata, sambil
bergumam: masih ada manusia yang sebagus ini ya Robb. Setelah
peristiwa ini, sopir dan kernet mendaftarkan diri sebagai jama'ah
thoroqoh khalidiyahnya mBah Arwani, dengan meliburkan sehari untuk
bersimpuh di pesantren beliau dalam seminggu, pada hari Jum'at itu.
Begitu melihat wajah sedehana nan tawadhiu' itu, mereka menemukan
kedamaian dan pengayoman hidupnya, mereka sepertinya punya ayah baru
dalam hidupnya selain kedua orang tua dan mertuanya itu.
Begitu
pamitan dalam setiap pengajian, mereka sempat berjabat tangan dengan
tangan yang lembut itu, sedalam hatinya mereka berdua mencium tangan
beliau, dan pasti dengan airmata menetes. Selalu beliau menyapa
dengan lembut: sae Nak? [semua baik-naik saja, Nak?]. Mereka tak
menjawab, hanya menganggukkan kepalanya, surut dengan langkah mundur
sebagai sikap tak berani membelakangi wajah yang teduh itu.
Dan
ketika ada khabar bahwa sopir itu meninggal, mBah Arwani menyempatkan
mensholati dia, yang diikuti oleh ribuan santri thariqahnya. Sekarang
kernetnya yang masih hidup, dihatinya cemburu pada sopirnya itu,
nanti kalau dia mati tentu tak seindah suasana kematian sopirnya,
karena mBah Arwani telah tiada....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.