RINDU CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, malam ini malam Jum'at yang memiliki keutamaan bershalawat Nabi SAW. Yang aku maksudkan tidak hanya sekedar berkidung cinta dengan lidah saja, tetapi bershalawat dengan hati, yang rindu menderu itu--bagai Uweys Al-Qorni. Kerinduan ini cara mengalaminya melalui tataran yang tidak sederhana, tetapi harus melewati tahapan penampakan lahiriah, kemudian melampaui ranah pandangan yang sensual, baru merasakan tatapan kerinduan--kepada Kanjeng Nabi itu.

Pada penampakan lahiriah, kita hanya berhenti pada hal-hal yang material: busananya, banyak menyebut namanya, berziarah ke makamnya--ringkasnya--kita cinta kepada Kanjeng Nabi saw karena terpesona pada bentuk-bentuk luarnya. Cara mencinta seperti ini akan menjadi selubung kepekaan pada stimulus ruhaniah, kita akan menjadi tidak bijak dalam menangkap isyarat-isyrat halus yang harus diungkap.

Misalnya, Kanjeng Nabi mencintai tiga perkara: perempuan, parfum, dan shalat. Lalu kita menyibukkan diri dalam pernikahan badani, keharuman tubuh, dan pernik-pernik fiqih dalam shalat. Padahal ketiga perkara itu mengungkapkan secara simbolis pengalaman ruhaniah yang agung. Sama halnya dengan kita--secara lisan bersholawat--seolah-olah sudah menunjukkan cinta secara penuh kepada beliau, umurnya lalu dihabiskan dalam seremonial berkidung shalawat, ke mana-mana. Kemudian pandangan sensual, dimana kita mencintai Nabi saw dengan membayangkan ketampanan wajahnya, sebagai tahapan tanjakan sebenarnya tidak salah tetapi cinta seperti ini akan mandeg dengan bentuk keinginan memiliki, menuntut, merengek, mendesak, mengambil--bukan memberi.

Betapapun rendahnya, cinta model ini akan menjauhkan kita sejengkal dari ego kita. Lumayan, sudah memberikan kehangatan hidup, kerinduan, dan keinginan bergabung dan bersama. Citra cinta ini akan mengantarkan kepada cinta yang lebih tinggi tingkatannya, karena cintanya akan tumbuh menjadi persahabatan yang mendalam.

Me-Muhammadkan aku, mengkitakan aku, mengkamikan aku. Cinta seperti ini akan menunjukkan bukti, tidak menuntut tetapi berbagi. Bentuknya akan jelas, bahwa cinta seperti ini ditandai dengan perhatian yang aktif--tanpa banyak kata--pada orang yang kita cintai: Kanjeng Nabi saw itu. Kita ingin diterima di sisinya, kedambaan untuk memberikan segalanya tanpa syarat pada sang kekasih--bagai Ibunda Siti Khadijah itu. Bukan seperti Siti Zulaikha, yang hanya menggait baju Nabi Yusuf--sampai robek itu, lalu melahirkan fitnah sampai terpenjaranya beliau.

Cinta kerinduan ini adalah cinta spiritual, yang jauh menyelam dari dataran badaniah (alam kadagingan) ke kedalaman ruhaniah. Model cinta seperti ini kita mencari hati dan meninggalkan daging dan tulang. Mencintai Kanjeng Nabi saw yang kita bayangkan bukan sekedar citra fisiknya, tetapi kagungan akhlaknya---yaa kariimal akhlak. Membayangkan akhlak kanjeng Nabi saw, bisa dimulai mengabungkan diri dengan orang-orang shaleh, syuhada', para Nabi, dan orang-orang yang benar--lalu Kanjeng Nabi saw itu.

Melihat kesalehan orang tua, guru-guru, Kiai-kiai, dan salafussaleh saja sudah sedemikian bergetar hati kita, lalu terbayang akan keagungan akhlak Kanjeng Nabi saw itu. Manusia yang membasahi janggutnya--bukan sekedar jenggot--dengan air matanya karena memikirkan derita umat sepeninggalnya, yang merebahkan dirinya di atas tanah dan tidak mengangkatnya sebelum Allah mengizinkannya untuk memberikan syafaat kepada umatnya, yang berlumuran dosa ini….

Kawan-kawan, aku merasa pada posisi yang banyak dosa itu, aku merasa berkeinginan memiliki akhlak yang agung itu, yang sudah bertaburan pada orang-orang sholeh itu, aku merasa pada posisi yang ditolong itu, aku malu atas ketidak pengertianku ini, aku malu, aku malu, aku malu, aku malu, aku malu....

Ya Rasullaaah !!!!


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel