SETAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, aku pernah menerima tamu, seluruh kalimatnya mengesankan: tidak ada yang lebih utama dan lebih baik dari diriku. Aku ikuti dia, menuju masjid mengajak shalat berjama'ah, do'a-do'anya kuyup oleh airmata, usai shalat bagai Nabi kecil dia: menasehatiku banyak hal dengan dalil-dalil. Aku lihat, tanda-tanda bekas sujudnya yang nampak khusyuk itu, atsarissujud. Kemudian mengajakku tadarrus Al-Qur'an, dengan tartil.

Aku terpesona melihat kesalehan orang ini, nampak kesalehannya dalam beribadat. Ibadah ritualnya sedemikian ketat, mereka lalu bergerombol saling memuji telah merasa mengajak shalat banyak orang, layaknya multilevel marketing. Aku melihat tokohnya mengatakan bahwa hanya kelompoknya yang paling benar, paling utama. Busananya mencerminkan busana Rasul, cara makannya cara Rasul, segala pernik tubuhnya mengesankan kebiasaan Rasul, semuanya disandarkan kepada beliau.

Aku sendiri--untuk sementara--menghindari rokok, baginya haram. Aku pernah mau diajak sampai keluar negri, bergabung dengan kelompok yang mendunia, dengan halus aku tolak karena aku banyak acara kemasyarakatan di kampung.

Aku mengajaknya, bagaimana kalau aku kerumahnya--silaturrahmi dengan keluarganya. Sepertinya--lewat sorot matanya--dia akan menolak, tetapi tidak berani, mana ada sesaleh itu menolak silaturrahmi. Begitu sampai rumahnya, aku merasa ada yang ganjil: anak-anaknya banyak tidak terurus, kebersihan--walau sederhana--tidak nampak sebagai wujud dalil-dalilnya yang disampaikan kepadaku, di masjid itu. Raut muka istrinya, menampakkan derita yang dibungkus dengan senyuman, kepasrahan yang terasa dipaksakan.

Datanglah bakul kampung, yang--maaf--menagih utang yang menumpuk selama dia tinggal pergi--berbulan. Lahan di sekitar rumahnya aku lihat tidak terawat. Istrinya aku lihat, menyodorkan bayak kartu undangan yang sudah kelewat, undangan masyarakat sekitarnya, termasuk saudara-saudara dekatnya. Istrinya mengabarkan, kalau si fulan telah meninggal, bahkan saudara dari istrinya juga sudah meninggal, dibalik itu aku tahu sepertinya istrinya menggugat: dia tidak sempat melayat. Tetapi lelaki yang aku ikuti ini dengan tegas menjawab: semua aku serahkan kepada Allah, titik.

Sebelum pulang, aku menyempatkan mohon maaf, kalau boleh aku menyampaikan sesuatu kepadanya. Dia terlihat belingsatan, sepertinya sudah tidak butuh nasehat, tetapi tetap mengangguk sambil memelototiku dengan tajam. Saudaraku--aku mulai bicara--mohon maaf sebelumnya (nuwun sewu), orang seperti anda ini, kalau boleh aku memberitakan kepadamu: Kanjeng Nabi menyebut orang yang tampak diwajahmu sentuhan setan. Aku menemanimu ini keberanianku hanya menasehati, sebagaimana engkau menasehati aku di masjid itu, saling menasehati dalam cahaya--aku berbisik kepadanya. Cuma--aku berbisik lagi--aku tidak berani membunuhmu. Dia kaget setengah mati, tambah memelototiku: mengapa begini--hardiknya. Kedatanganku meminta ke rumah ini sebenarnya akan menjadi saksimu atas kesalehanmu: sholatmu nampak khusuk, bacaan al-Qur'ammu tartil, busanamu indah, haltemu dari masjid ke masjid, nasehatmu langsung mengambil dari Kanjeng Nabi tetapi--maafkan, aku berbisik--kecintaanmu kepada Allah ini belum kau wujudkan dalam kemesraan menemui umatNya di bumi, termasuk keluargamu dan masyarakatmu sekitarmu ini. Akhlakmu kepada Allah sangat bagus, tetapi belum kau turunkan berakhlak kepada sesama makhlukNya, termasuk keluargamu yang aku lihat sendiri. Ibadahmu dalam memelihara bentuk luar sangat indah, tetapi belum sampai kepada jantung hatimu. Ibadahmu mahdhah ini sebenarnya harus sampai pada membekas dalam kehidupan sosial dan dalam akhlak di tengah-tengah manusia. Boleh jadi--seperti aku--tanda bekas sujudmu sujudku menjadi tanda-tanda sentuhan setan....

Kawan-kawan, orang ini ambruk menyungkurkan kepalanya di lantai rumahnya, semua anak-anak dan istrinya juga menangis, terakhir aku sampaikan: kang, Kanjeng Nabi menyatakan orang yang terlepas dari agama--dengan bukti tidak hadir mengatasi umat--seperti terlepasnya anak panah dari dari busurnya, sekiranya orang ini dibunuh, tidak seorang pun di antara umatku akan pecah. Orang ini tambah memekik, menjerit, gaung jeritannya menghantam juga, dihatiku....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel