PANAH CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, orang tua itu busur dan anak-anak itu panahnya, metafor ini disampaikan oleh menantunya Kanjeng Nabi, senada juga yang dikedepankan Khalil Gibran--anak2mu itu bukanlah anakmu, ia adalah anak kehidupan,engkau berhak menyayangi tapi tidak untuk pikirannya, karena mereka akan menghuni masa depan yang tidak mungkin kau temani abadi.
Begitu aku melihat anak-anak, terbayang prahara istriku, terkenag juga akan derita istri-strimu kawan. Aku ingat, manakala istriku mau melahirkan uang tidak punya--jelas kesalahanku kan. Makanya kalau detik-detik jabang bayi mau lahir dia aku tanya--melahirkan di rumah apa rumah sakit? Pasti dia menjawab dengan rona pucat pasi--tetap tersenyum, di rumah saja. Hal ini dalam diamnya ia tahu, tidak akan merepotkanku dengan seketika mencari dana rumah sakit.
Di tengah kesibukanku yang luar biasa, Allah memberi momentum bisa menunggui anak-anakku lahir, kebanyakan sebelum shubuh. Diantara sembilan anak itu, hanya satu yang melahirkan di rumah sakit Karyadi Semarang dan aku tidak menunggui, lagi-lagi alasan cari duit yang paling di cemaskan istriku itu. Pernah anakku yang nomer dua sebelum dukun bayi kampung datang, kepala sudah keluar maka secepat itu aku kangkangi tubuh istriku, dengan cara mendorong perutnya agar bayi bisa keluar, dan berhasil.
Memori jeritan kesakitan, pekik derita melahirkan menemani perjalanan hidupku, ini semua aku sadari produk polah pecicilanku itu. Kebersaman dalam proses persalinan bagai gendewo pinenthang (busur) melesatkan anak panah ke masa depan. Ada hak anak yang harus ditunaikan orang tua, menamai yang baik kala lahir, mendidik yang baik kala akalnya berkembang, menikahkan kala mereka sudah menemukan jodohnya.
Yang menjadi pusat perhatianku adalah memberi kasih sayang itu. Aku menyadari,pada umumnya umur orang tua itu hanya--paling banter--menemani sampai cucu atau cicit. Setelah itu berpisah oleh kematian, terkubur dan dipathoi loro (nisan dua), kalau pathok satu namanya tenger, karena pathoknya dua, jadinya thenger-thenger. Aku sadari sepenuhnya bahwa anak yang lahir itu pilihan Allah, setelah jutaan sperma bersaing ketat mau keluar jadi janin, makanya mengenang itu semua hatiku bersyukur dipercaya olehNya.
Syukur ini aku buktikan dengan sepenuhnya menyayangi mereka, sepenuhnya. Biarlah aku tebus derita, asal mereka bisa muluk sego (makan), bisa memperoleh pendidikan, dan merenda masa depan sesuai dengan karakter pribadi mereka masing-masing. Paling takut bagiku adalah manakala aku marah, sampai anakku memandang mataku tepat di bola mataku--aku langsung ingat pesan Kanjeng Nabi--perpalinglah dan alihkan pandangan, sebab kalau sampai di hatinya mendoakan keburukan, celakalah aku.
Aku menang kuasa tapi kalah oleh kesucian hati mereka, dimata Allah tak ada hijab. Jangankan memukul, Kanjeng Nabi pernah nggendong anak seseorang, tahu-tahu bayi itu pipis (kencing), lalu Ibunya--karena malu ke Kanjeng Nabi--langsung merebut dari gendongan beliau. Dengan lembut, lidah suci itu menegur Ibunya--Ibu...aku tahu engkau mengambil bayi ini dari pangkuanku karena mengencingiku, aku tidak apa-apa kok, kalau soal pakaianku ini kotor bisa dicuci, tetapi kasarmu mengambil dia dari pangkuanku, yang tidak bisa diganti....
Kawan-kawan, anak-anak panahmu, sayangilah, jangan kau sakiti, aku pun tidak rela dunia akhirat, karena mereka adalah anak-anakku juga, anak-anakku juga, jangan kau sakiti...
Lihatlah nanti kalau aku ketemu anak-anakmu itu pasti aku cium tangannya, sedalam cintaku, karena mereka lebih suci dariku.....

catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel