LADANG CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono

Sedulurku tercinta, dunia ini bagai gunung, kalau kita memekik keindahan gaungnya memantul akan kita dengar merdu merayu, kalau kita memekik keburukan gaungnya akan memantul di telinga kita sendiri, tidak enak. Makanya setiap pengkritik, yang nampak ditujukan dan ditudingkan ke orang lain sebenarnya pukulannya akan kembali ke pengkritik itu.
Rumus ini aku jadikan landasan dalam rumah tanggaku, aku petani istriku ladangnya, aku langit istriku bumi, aku daratan istriku lautan. Sebagai petani harus bekerja keras dalam penggarapan ladang, sebagai ladang harus pasrah sedemikian rupa agar menumbuhkan buah-buah segar kehidupan. Dia aku kenal di Pesantren, saat menyodorkan fotoku dimuat koran semasa SMA, juara pidato, koran Bahari dulu.
Kepasrahannya itu yang menggairahkanku dalam penggarapan kehidupan ini, sehingga benih-benih cinta tumbuh subur di ladangnya. Sebelum menikah aku suruh mondok di Yambuul Quran Kudus nurut, setelah menikah aku suruh kuliah Ushuluddin jurusan filsafat IAIN Walisongo nurut. Selama kuliah, mulai Ospek dia hamil tiga bulan, mencapai ke kampus pun naik angkot 3 kali ganti jalur, apalagi jalan ke kampus nanjak kayak gitu, nurut. Setiap semester genap, dia melahirkan anakku, pas saat libur tahunan itu. Sehingga ada dosen yang bertanya, kapan kamu melahirkan, masuk kok sudah hamil lagi. Begitu wisuda, anak enam aku bawa ke kampus mengiringi Uminya. Setelah memperoleh kesarjanaan, tambah lagi tiga anak, jadi seluruhnya anakku sembilan, laki tujuh perempuan dua. Sepanjang yang saya saksikan tidak pernah mengeluh, diam menuruti penggarapanku, selebihnya--senyum.
Belum lagi masalah keburukanku, yang begitu kanthong bolong, ada uang cepat habis disamping kebutuhan pokok, aku lepas begitu saja, dia diam saja. Antara ketemu dengan tidak, karena perjalananku pengajian malang melintang tentu lebih banyak tidak ketemunya, pasrah saja. Aku pun merasa sebagai lelaki setua apapun adalah bayi--pandangan psikolog. Sehingga kerewelan dalam hidupku bagi dia adalah bagai kerewelan seluruh anak-anakku, dia merasa sudah amat terlatih.
Malah dalam suatu kesempatan ngopi, dia bilang bahwa perempuan terhadap suami ada empat sikap, pertama sebagai teman harus bisa ngimbangi jagong, kedua sebagai kekasih harus siaga dalam keadaan apapun aku meminta, sebagi istri siap siaga dengan segala perintah suami asal yang makruf, keempat sebagai ibu pada saat menghadapi kerewelan suami, ya aku ini. Belum lagi menghadapi keruwetan santri-santri, dan kegiatan kemasyarakatan pada umumnya, ia jalani begitu saja. Mengalir.
Penempaan dan penggarapan ini aku lihat semakin mematangkan kepribadian. O iya, rumah itu barusan setelah 15 tahun berumah tangga aku bikinkan, sebelumnya menempati kamar sama luasnya dengan kamar santri-santri itu, diam saja, tanpa komentar. Dia amat yakin akan prinsipku bahwa wanita itu bayang-bayang Tuhan, artinya kalau aku akan menanjak dalam tataran kasih sayang Allah tentu melalui penghargaan atas wanita, ya dia itu. Setua apapun nanti tentu tambah mawaddah warahmah, memang namanya Siti Rachmah.
Ketika aku naik haji tahun 1997 sendirian, dia mendukung saja, walau aku tinggal. Kini saatnya dia mau aku berangkatkan haji, sendirian--nurut juga--tinggal nunggu brangkat, dia yang ngurus sendirian, aku tinggal lari-lari pengajian. Senyum dia tambah mengembang, anak sembilan sudah gede-gede, tak serepot dulu. Di mataku ia semakin cantik, lebih dari saat masih gadis dulu. Setiap apa yang aku berikan dengan mengucap terimakasih, jazakumullah. Setiap apa yang aku berikan orang, dia bilang sedekah.....
Kawan-kawan, aku mendoakan istrimu melebihi keshalehahan istriku, kalau engkau wanita jadilah ladang cinta yang begitu pasrah digarap dan menumbuhkan tetanaman yang pada ujungnya, rumah tanggamu rukun, rukun--kata Nabi--suasan surga yang ditirunkan Tuhan di bumi, Amin2....
karya K.H. Amin Budi Harjono


catatan :  

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel