KODAK CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono

Sedulur tercinta, kesetiaan sekecil apapun bentuknya akan menghasilkan hasil akhir yang indah--bahasa arabnya khusnul khatimah. Happy ending. Hanya dengan kodak, orang ini setia memotret apa saja yang ada di depan rumahnya, sebagai kesaksian sejarah hidupnya. Orang ini hanya di rumah, tetapi kejadian hidup yang ribuan atau jutaan peristiwa di depan rumahnya ia potret, dengan kodak itu. Dia memotret tidak sekedar mengandalkan alatnya, tetapi dengan hatinya, dengan asumsi nanti yang akan menikmati hasil jepretan itu adalah kekasihnya, siapa saja.
Misal, bunga mekar di pojok ruang, tamu-tamu yang datang, tukang mbarang, pengemis dengan caping krompang, semut-semut bekerja dengan riang, ayam-ayam yang sedang memadu kasih sayang, ayam jago yang penjelajah menantang, kupu-kupu terbang, atau yang menyambangi kembang-kembang, penjual mainan anak-anak berlalu-lalang, luka-luka kemarau panjang, banjir bandang, istrinya minta uang, anak-anaknya makan dengan lauk sembarang dan tak ada yang membangkang, cucu-cucu menjelang, menantu-menantu yang bikin girang, sahabat-sahabat menyambang, tetangga yang kadang meradang, istri yang kadang crewet bukan kepalang, tukang pijet yang bikin meregang-regang, arak-arakan partai silih berganti lambang, jalan depan rumah yang berlubang, sopir dan pengendara ngedumel bukan kepalang, demo-demo menggugat pemerintah yang tak tahu wirang, konvoi budaya yang bikin senang, langit biru terang benderang, malam redup bernuansa gairah menggelinjang, anjing menggongong ditengah sunyi malam bersamaan tangis bayi yang sedang sakit mriang, hijau sawah yang membentang, lalu padi menguning berisik diterpa angin siang, burung-burung terbang, hiasan lazuardi langit dengan bintang tak terbilang, pejabat silih berganti lewat hanya memandang, atau potret diri yang sedang menerawang.
Semua di potret, tidak ada yang tak di jepret. Sehingga, manakala negri itu ditanya sejarahnya, harus datang ke orang ini. Manakala kebijakan negri mau diputuskan harus datang ke pemotret ini untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, baik kebijakan politik, ekonomi, budaya, keagamaan dan pembangunan.
Manusia ini tanpa pamrih, ikhlas memotret. Ternyata, cahaya langit menggerakkan hati sang raja negri itu, ia seorang kaisar, supaya tak hilang dalam sejarah hati rakyatnya, ia datang ke rumah pemotret, minta dijepret dengan kodaknya itu. Betapa senangnya ini pemotret, sang raja datang tanpa diundang, hanya ingin dipotretnya. Ketika sedang menjepret rajanya itu, jarinya gemetaran, sendinya kelu, matanya deras mengalir air mata memata air......
Kawan-kawan, kisah ini aku taburkan menjadi ilham, dari Mas Tanto Mendut, orang nyleneh itu sahabat Cak Nun, dimana dalam ranah hati kita bagai kodak itu, hati kan rumah dalam abstraksi kita dibalik rumah kongkrit ini. Dalam hati ada taman juga yang bisa dipotret dengan mata hati kita. Kalau kita mau memotret semuanya, dalam ranah kesaksian cinta, maknanya ada duri singkirkan, orang sakit dijenguk, ada yang meninggal dilayat, ada yang kehausan dikasih minum, kelaparan dikasih makan, kehujanan dikasih payung, ke ortu berrul walidain, ke guru takdziman watakriman, ke istri suami setia, pada intinya sejantera alam semesta kita sapa, kita potret, dengan cinta.
Mekanismenya adalah, setiap yang kita kerjakan mengandaikan bahwa yang akan menyaksikan adalah kekasih kita. Yakinlah, Sang Maha Raja akan hadir dirumahmu, bisa anda bayangkan kebahagiaanmu...
Selamat Memotret Kawan-kawan....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel