DILEMA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, aku menyadari akan keterbatasanku dan tidak punya nyali
untuk merendahkan pihak manapun dalam hidup ini, semua ini aku sadari
atas kebodohanku atau pemahamanku yang amat sangat terbatas
ini--terhadap semua aspek kehidupan. Ungkapanku ini sekedar bahasa,
dimana bahasa memiliki kelemahan dalam mengungkap seluruh relung
kesadaran manusia, tetapi kalau tanpa bahasa maka komunikasi antar
manusia menemukan kesulitan.
Misalnya,
aku sependapat dengan Syech Ibnu Arabi, dimana beliau mengatakan:
kalau boleh aku sebut bahwa Islam itu adalah agama cinta. Islam di
sini bagiku memilki arti generik, dimana maknanya adalah penyerahan
diri ini kepada Allah dalam bentuk doktrin dan ritual beraneka ragam
sesuai dengan pengalaman dan sejaran sosial setiap orang. Pemahamanku
ini sederhana, Islam hadir sebagai rahmat bagi alam dan seluruh umat
manusia, dimana praktik keberagamaan yang dilakukan pemeluknya ini
bisa memberi manfaat bagi semua orang: mukmin atau kafir, muslim atau
nasrani, yahudi, budha, atau hindhu, dan pemeluk agama lokal lainnya.
Ciri
universalnya ada, dimana ajaran Islam bisa diwujudkan tanpa harus
membuat semua manusia memeluk atau memahami dan mempraktekkan ajaran
Islam seperti konstruksi yang disusun sepihak, dimana kesepihakan itu
yang pada ujungnya akan melahirkan saling mengklaim kebenaran milik
golongannya itu. Kesepihakan ini jelas akan terasa lucu dan aneh,
karena pemeluk agama dari sudut pandang ini akan mengingkari makna
Tuhan Yang Maha Ghaib [misterius] yang tak terbahasakan oleh manusia.
Akhirnya
nampak jelas bahwa Tuhan dalam hal ini telah diberangus pemeluk
ajaranNya sendiri menjadi sebuah "kuasa"--bukan Cinta, yang
dipaksakan hanya memihak satu golongan umat manusia. Dalam ranah
"kuasa" akan semakin jelas bahwa yang ada hanya aspek
menang kalah--Rumi menyebut Fir'aun dalam agama, kesalehan agama
menjadi musnah dan lahirlah konflik yang mencitrakan agama sebagai
biang kehancuran peradaban dan akar kebiadaban umat manusia--atas
nama Tuhan itu.
Tidak
adakah suatu kemungkinan pemeluk suatu agama mengedepankan kesalehan
sesuai dengan keyakinan agamanya sehingga membuat orang lain yang
berbeda kepemelukan dan paham keagamaan bisa tertawa gembira? Islam
dengan makna kepasrahan kepada Dia yang misteri itu harus membuktikan
manfaat ajaran-ajarannya untuk mengembangkan hidup dengan penuh
kesantunan, agar kesalehan bukan hanya bagi Tuhan, tetapi bagi upaya
pembebasan manusia dari penderitaan hidup, kemiskinan, kebodohan,
teror, dan ketakutan itu.
Inilah
citra Cinta yang dimaksud oleh Syech Ibnu Arabi itu, dimana kesucian
ajaran-ajaran terbebas dari kepentingan ekonomi dan politik, dan
pemahaman akan hadis bahwa tiap manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah, masyarakatlah yang membuatnya menjadi agama tertentu itu.
Kalau toh ternyata fitrah di sini dimaknahi agama Islam, maka perlu
dicermati apakah Islam dalam konstruksi politik atau Islam generik
ketundukan pada hukum keselamatan dan kedamaian Tuhan--inilah
dilemanya.
Kalau
ternyata Islam dibingkai dalam konstruksi politik, maka wajah citra
Cintanya akan hilang, namun bila dirunut dengan makna ketundukan pada
kedamaian Tuhan, maka Islam akan hadir di bumi menebar CintaNya itu,
tanpa batas. Misalnya ajaran tentang jihad, Kanjeng Nabi saw
menyatakan: Jihad bukan semata-mata berarti pergi berperang di jalan
Allah dengan pedang terhunus di tangan, tetapi juga berarti memenuhi
kebutuhan hidup umat manusia sehingga seluruh manusia tidak malu dan
menderita karena kelaparan dan ketakutan. Pada pesan yang lain,
Kanjeng Nabi saw menyatakan: Ada banyak dosa di antara dosa-dosa yang
tak mungkin dihapus hanya dengan shalat dan puasa, tetapi dengan
jerih payah dan kesulitan bekerja memenuhi kebutuhan hidup....
Kawan-kawan,
sejarah peradaban umat manusia selalu berkisah tentang fakta
perbedaan keberagamaan dan paham keagamaan di bumi manapun. Jelasnya
merasa benar sendiri dan menang sendiri dalam bentuk keinginan
kesalehan individual dan kelompok berarti sebagai upaya penghancuran
peradaban. Rumi menyatakan: bunuhlah dirimu agar engkau bisa
menghidupkan orang lain, sehingga engkau bisa naik ke langit lapis
tujuh, serta Gibran menyatakan: ketika jiwaku menasehatiku, baru aku
sadar bahwa orang lain itu ialah diriku, dosanya adalah dosaku, dan
deritanya adalah kepedihanku....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.