HARIAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, suatu kenyataan yang pahit bagi sebuah peradaban, dimana
manusia ditengah sarana canggih teknologi yang semakin mempermudahkan
cara memenuhi kebutuhannya, ujungnya malah mengalami tragedi ketidak
bahagiaan hidup--yakni keterasingan itu. Kalau demikian, kemodernan
dengan dasar fisafat empirisme mengantarkan manusia pada level
peradaban benda semata yang sangat indrawi, dan sedikit agak kedalam
dengan dasar filsafat rasionalisme, yang ternyata mencebak peradaban
pada bebas nilai, lalu meneteslah tragedi sejarah dengan apa yang
disebut dekadensi moral ini--kebejatan hidup.
Sekilas
watak keliaran ini sangat menyenangkan--terutama bagi hawa
tercela--tetapi dalam pandangan hati nurani ternyata sangat bertolak
belakang, malah lebih terangnya sangat memalukan. Dengan tanpa malu
ini manusia bergerak sesuka hati tanpa memperhitungkan aspek
sosialnya, malah ujungnya menghsilkan gejolak sosial itu, dimana
kebahagian dan ketrentaman manusia tercerabut dari hidupnya,
musnahlah sudah kedamaian manusia.
Boleh
kita runut kenyataannya: dunia diwarnai pertentangan politik dan
ekonomi yang berefek pada gejolak negara-negara, kemudian negara
diwarnai persoalan yang sama lalu berefek pada keluarga-keluarga yang
tidak harmonis, keluarga yang demikian melahirkan jiwa-jiwa yang
tidak tenteram, jiwa yang demikian akan berujung pada diri-diri
manusia yang penuh ketegangan, ketegangan-ketegangan inilah yang
menjadi sebab ketidakbahagiaan manusia.
Asalnya
bersumber dari kebutuhan yang meningkat, misalnya baju tak sekedar
menutupi aurat tetapi mengejar mode, misalnya lagi rumah tak sekedar
tempat hunian tetapi mengejar bentuk, dan seterusnya yang berujung
pada adanya pembiayaan yang tinggi. Pembiayaan tinggi ini membentuk
karakter manusia jadi sangat egois dan individualistis, yang berujung
ada putusnya tali sosial masyarakat semacam kehancuran
keluarga-keluarga.
Dalam
watak egoistis ini melahirkan persaingan-persaingan yang tidak sehat
dalam masyarakat dan bangsa. Persaingan inilah yang mengkristalkan
ketegangan dengan bukti jauhnya manusia dengan kebahagiaan hidup
itu--tensinya naik. Bagi yang kuwat tak ada masalah [no what-what,
hehe], bagi yang tidak kuwat maka akan muncul banyaknya manusia yang
masuk rumah sakit jiwa [menjadi lholak-lholok] itu.
Bermula
dari tercerabutnya rasa malu, maka hal ini menjadikan ketercerabutan
iman dalam dada manusia, karena iman itu sumbernya adalah rasa malu
itu. Ketika iman tercerabut, maka manusia akan kehilangan Harta Karun
yang diselipkan Tuhan di sudut hatinya, dan hilangnya Harta Karun itu
berarti hilangnya Cinta yang ada di dada ini, begitu. Bagiku,
hari-hari dengan keadaan seperti itu bagian dari kesalahan manusia
yang mengotori kesucian alam yang selalu bertasbih ini dengan caranya
masing-masing. Kotoran-kotoran itu dikembalikan kepada yang
mengotori.
Hari-hari
demikian bagiku hanya mengemuka di media saja, sementara di dataran
realitas hidup aku masih [bahkan selalu] melihat harmoni-harmoni yang
amat sangat menggembirakan ini. Mereka memiliki harian Cinta, dimana
mereka-mereka hidup menyongsong Subuh dengan takbir dan sholatnya,
usai Subuhan sampai menjelang dhuhur memeras keringat dengan ujung
"nawaitu" untuk menghidupi keluarganya, dari duhur sampai
Ashar larut dalam kesibukan lagi dengan berbagai bentuknya, dari
Ashar hingga Maghrib menyongsong senja dengan cengkerama keluarga,
dari Maghrib hingga Isya' mnghiasi rumah-rumah mereka dengan shalat
dan bacaan Qur'an dan mencahayai dengan shalat dan bacaan Qur'an,
dari Isya' hingga menjelang ke pembaringan tubuh untuk tidur masih
saja diisi dengan keasyikan-keasyikan yang menggembirakan baik diri,
keluarga dan masyarakat....
Kawan-kawan,
lihatlah kesaksian-kesaksian Cinta bukan pada berita di media,
cermatilah harian-harian pecinta melaui pengamatan langsung kehidupan
mereka, bahkan sesulit apapun perjuanganmu, temukan manusia-manusia
tulen itu, tanpa bersandar kepada negara, tanpa bersandar pada ormas
atau parpol, tetapi mereka bersandar kepasa Sang Misteri, sehingga
mereka bisa mencercap CintaNya melalui lintasan suka duka CintaNya
ini....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.