MERAH PUTIH CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, dalam filosofi warna, merah adalah simbol keberanian dan kesemangatan yang menyala sementara putih adalah simbol kesucian hati dan kebaikan budi pekerti itu. Warna ini menjadi bendera bangsa Indonesia, dimana kemerdekaan yang diperoleh disadari atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, lalu didendangkan Gombloh: merah darahku, putih tulangku, menyatu. Memasuki dunia Jawa adalah memasuki dunia rimba raya simbolik, dimana bagi orang Jawa harus memiliki kekuatan merenung untuk mengetahui dibalik selubung simbol ini semua, wujudnya adalah semesta raya ini.

Watak ini tidak harus orang Jawa yang memilikinya, tetapi dimiliki juga oleh semua manusia, dimana kekuatan merenung ini bagian dari "ilmu hayat" atau "ilmu hidup"--orang Jawa bilang "ilmu teles"[basah] itu. Ilmu "teles" ini menghasilkan kesegaran jiwa-jiwa karena dipethik dari kesegaran perubahan yang abadi, dan terus menerus sehingga menuntut setiap orang untuk terjaga hatinya mengamati siklus jantera alam semesta.

Sementara pada sisi yang lain ada ilmu "garing" [kering], dimana ilmu ini bersumber dari teks kitab atau buku yang mana kata-kata itu adalah bayangan jiwa dan jiwa itu bersumber dari Dia itu juga. Pada galibnya kedua ilmu ini disebut "kauniyah" dan "qauliyah" itu. Terlepas dari heterogenitas makna, maka berkaitan dengan merah putih ini, ada tradisi "slametan" membikin bubur merah putih di dunia Jawa atau bubur "abang putih" di bulan Muharram atau bulan "Syuro"--terambil dari kata asyura[tanggal 10] bulan Muharram. Pada tanggal sepuluh ini, menurut titian sejarah terjadi peristiwa-peristiwa tragis yang dialami para kekasih Allah itu, diantaranya adalah: Ibrahim dibakar Namrut, Musa dikejar-kejar Fir'aun, Nuh menghadapi badai topan, Ayyub menghadapi problem amat berat dalam perjuangannya, Kanjeng Nabi terusir dari tanah kelahirannya dan hijrah ke Medinah, dan Sayyina Hussein terbunuh di Karbala oleh pemerintahan Yazid bin Abu Sofyan itu.

Dalam dunia teks memang tidak ada yang mengajarkan tentang simbol membikin bubur merah putih itu, tetapi dalam dunia hati dengan kerjanya yang "mengenang" itu maka akan nampaklah kehadiran peristiwa yang menyayat hati, demi kebenaran dan cinta yang suci itu, manakala melihat merah putih itu. Cinta selalu melintasi batas sekedar peraturan, tetapi meningkat pada dataran moralitas, dimana puncaknya adalah rasa malu bila melakukan sesuatu yang bersifat kegembiraan, sementara pada saat yang sama hadir di hatinya peristiwa yang menyayat hati manusia itu.

Misalnya, apa tega bila perut ini kenyang sementara tetangga sebelah kelaparan, apa tega membangun rumah yang mewah di tengah kekumuhan hunian sekelilingnya, apa tega di tengah saudara sakit gigi lalu bernyanyi-nyanyi, apa tega di tengan kita mengenang derita yang tak terperikan para kekasih Allah itu lalu kita melakukan kegiatan yang menunjukkan berlawanan dengan keadaan-keadaan beliau itu, apa tega kita melakukan pesta di tengah mengenang derita--misalnya--Sayyidina Husein yang ditengah kehausan dan kelaparan beserta keluarganya lalu dibantai oleh Yazid, dengan dipenggal kepalanya itu, kemudian dijadikan bola tendang di kaki-kaki tak berperikemanusiaan itu, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega, apa tega....

Kawan-kawan, ambillah hari atau bulan yang lain, carilah hari atau bulan yang lain, hadirkan darah merah yang muncrat dari leher kekasihNya itu, hadirkan kepala yang dijadikan bola para kuasa yang di dadanya tak ada cinta itu, kenanglah putih tulang para kekasihNya yang tegak karena cinta itu, merah putih Cinta berkibar tidak hanya pada lembaran kain itu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hartimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, berkibarlah di hatimu, wujudkan dalam tindakanmu, wujudkan dalam tindakanmu, wujudkan dalam tindakanmu, wujudkan dalam tindakanmu, wujudkan dalam tindakanmu, wujudkan dalam tindakanmu, wujudkan dalam tindakanmu, wujudkan dalam tindakanmu, wujudkan dalam tindakanmu: merah putih Cinta itu, merah putih Cinta itu, merah putih Cinta itu, merah putih Cinta itu, merah putih Cinta itu, merah putih Cinta itu, merah putih Cinta itu, merah putih Cinta itu, merah putih Cinta itu....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel