SUSU CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ada sebuah syair yang maknanya: wahai anak cucu Adam ingatlah ketika engkau dilahirkan dalam keadaan menangis sementara lingkunganmu tertawa, maka beramallah untuk dirimu, pada saat dimana orang datang dengan menangis di hari kematianmu, jiwamu tersenyum. Sepertinya kehidupan ini kalau begitu, diawali tangis dan ditutup dengan tangis. Sungguh--firman Tuhan--Aku ciptakan manusia itu serba ketemu ruwet. Ruwet jalan macet, ruwet anak-anak nakal, ruwet istri cerewet, ruwet suami silengkuh, ruwet kendaraan mogok, ruwet tubuh didera sakit, ruwet jadi pengangguran, ruwet barang-barang naik, ruwet telambat kereta, ruwet pesawat ditangguhkan, ruwet menagih hutang, ruwet membayar hutang, ruwet hukum tidak adil, ruwet pejabat korupsi, ruwet perbedaan faham, ruwet perpecahan parpol, ruwet, ruwet, ruwet, ruwet, ruwet.

Keruwetan ini bisa dilacak, sumbernya adalah keinginan-keinginan kita, keinginan telah memperbudak manusia. Derita yang menyeret manusia tidak pernah sempat menyapa jiwanya--sangat sibuk katanya. Manusia menjadi terkapar dalam kebosanan, lunglai dalam menuruti dan mengatasi keinginannya itu.

Manusia memiliki dua ujung--kata Kanjeng Nabi saw, ujung lidah dan ujung bawah. Ujung yang pertama membawa petualangan makan sehingga perutnya menjadi bak sampah, sementara ujung kedua membawa petualangan selera seksualitas, keinginan mengicipi semua perempuan dunia. Iblis pun melambai-lambai bisikannya pada dua tempat--maaf bukan salah perempuan lho, pertama payudara dan kedua pantatnya.

Jadilah, mata lelaki kalau berpapasan dengan perempuan, yang dipelototi adalah payudaranya, sementara kalau perempuan itu sudah lewat yang dikomentari adalah bokongnya. Mengambil jarak dengan derita ini semua, sudah sangat susah, sangat susah. Akhirnya manusia menjadi lunglai, terhempas di kerak bumi ini. Dalam ketakberdayaan seperti inilah, Tuhan mengutus para kekasihNya, sebagai hidayah bagi manusia menuju kebahagiaan sejati, abadi.

Sebenarnya juga merupakan derita, tetapi derita yang terasa manis, derita yang melahirkan kebahagiaan. Wujudnya adalah derita berpisah dengan keinginan itu, lalu biar Tuhan yang bicara melalui kita semua, itu namanya pasrah, bahasa arabnya Islam.

Hai orang yang beriman--firman Tuhan, masuklah ke dalam kepasrahan. Cul! Lihatlah kepasrahan orang bekerja, tetapi demi senyum anak istrinya, akhirnya menyeret kalbunya pada senyum Tuhan. Saksikanlah kepasrahan Ibumu, demi kehidupanmu, derita serasa manis kala melihat senyummu, Ibumu lebih merasa dalam pelukan Tuhan, kala memelukmu sebagai titipanNya. Tengoklah kepasrahan awan yang menangis, tetapi menumbuhkan bumi menjadi taman-taman. Ingatlah kepasrahanmu ketika engkau menangis kala masih bayi, air susu Ibumu mengalir deras membesarkanmu. Bayi bisa menjadi simbol kepasrahan, semua kehendak dalam ketakberdayaannya itu, membawa semua lingkungannya tergerak untuk melayaninya. Popok basah, dia menangis, mengundang Ibunya mengganti. Punggung panas karena tidur melulu, dia menangis lalu neneknya tergerak mengajak jalan-jalan, padahal bayi itu tidak bisa berjalan....

Kawan-kawan, bayi saja memiliki insting sedemikian tajam: aku menangis supaya ada perawat yang baik datang. Maka tidakkah kita memiliki kesadaran menangis--dengan belbagai bentuk derita--sehingga Sang Maha Perawat dari segala perawat memberikan susu secara gratis dalam kehidupan, derita semacam inilah yang tidak melahirkan kebosanan, tetapi justru jiwanya berkembang sebab keberkahan susu cinta itu....



catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel