SAPAAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, Kanjeng Nabi mengingatkan: tidak akan dicintai bagi orang yang tidak mencintai, wasiat ini mengajarkan tentang Cinta yang "aktif" dari diri untuk memulai terlebih dahulu, bukan menunggu secara pasif. Malah secara simpel Beliau menganjurkan: mulailah dari dirimu sendiri, ibda' binafsik itu.

Ketika aku berwudlu, dengan amat jelas bagai menasehati diri ini: aku basuh mukaku biar punya rasa malu, aku basuh tanganku biar benar cara kerjaku, aku usap kepalaku biar benar berfikirku, aku usap telingaku biar benar pendengaranku, aku basuh kakiku biar benar langkahku selalu. Kemudian berdiri sejenak dalam sembahyang demi sembahyang, meletakkan kepala dibawah tumit dalam sujud demi sujud, bersimbuh dalam tafakkur demi tafakkur, dan bersunyi ria dalam khalwat demi khalwat--berdepan-depan denganNya.

Dari sini, bisa dimulai kefanaan diri itu, lalu yang nampak seluruhnya adalah Dia, Dia, Dia, bagai matahari ada dalam dada ini, ketika cahaya itu ada nampaklah semuanya ini dengan terang benderang itu. Semua selubung semesta ini menjadikan Dia nampak lebih terang dibaliknya. Dalam bentuk sederhana saja, ketika aku temui siapa saja lalu aku sapa, detik itu juga mereka bisa menjadi saudara, menjadi sahabat, dan bisa menjadi apa saja yang memberkahi adanya.

Ketika aku berjama'ah di masjid atau mushalla, begitu usai dan aku sapa mereka, jadilah mereka saudaraku—seiman [dari aliran dan faham apapun itu], ketika aku mengisi sebuah acara pengajian maka detik itu juga tercipta hubungan keintiman dalam tawa dan tangis sebagai saudara, ketika aku berada di peron stasion atau di terminal bis atau di bandara dan menyapa mereka maka detik itu tersambung jiwa-dengan jiwa tanpa sekat primordial itu, dan menjadi sedulur seketika yang menyenangkan--dengan rata-rata ngasih nomor hape-nya.

Ketika aku membuka facebook, sampai hari ini [baru 5 bulanan lah], maka seketika mengalir sedulur sebagai teman dan banyak yang meningkat menjadi sahabat, semua menyenangkan dan menggembirakan--melintasi batas teritorial. Ketika aku naik taxsi, aku sapa itu sopir dengan dialog mesra, lalu menjadi saudara. Ketika aku naik bis, naik kereta, naik pesawat, maka aku sapa mereka yang duduk disamping kanan atau kiri dengan mesra, maka seketika mereka menjadi saudara.

Ketika aku jajan nasi "kucing" [istilah Semarang], atau nasi "angkringan" [istilah Jogja sekitarnya], atau nasi "jotos" [istilah Mediun] maka aku sapa dalam obrolan yang mengasyikkan, seketika mereka semua menjadi sedulur yang saling melepas rindu itu. Ketika aku belanja di pasar, maka aku rasakan sendiri bahwa hakekatnya mereka itu semua adalah melayani antar sesama manusia, bukan sekedar transaksi uang, karena tanpa kehadiran mereka maka mata rantai "rahmat" Dia belum tentu kita temukan, lalu terjadilah hubungan yang saling menguntungkan, bahkan meningkat menjadi pelangggan, dan bahkan lebih dari itu.

Ketika aku menyapa bunga-bunga, maka ia pun membalas dengan menaburkan aroma wanginya. Ketika aku menyapa pepohonan, maka ia pun menebar senyum dengan menyodorkan buah-buahan itu. Ketika aku menyapa burung-burung, maka ia membalasnya dengan berlebih akan kicauan yang merdu merayu itu. Ketika aku menyapa milikNya, maka seketika aku merasa dalam keluargaNya itu, sebagai saudara satu sama lainnya.

Makanya sering aku merenungkan firmanNya: semua makhluk adalah keluargaKu. Ya, semua gerak semesta ini terajut oleh tali cintaNya. Ketika aku membaca Kitab SuciNya, aku merasa berbisik denganNya, ketika aku baca kisah kekasihNya terasa olehku berdepan-depan dengan beliau itu, ketika aku baca manaqib para kekasih kekasihNya maka terasa olehku kehadiran sosok yang telah membukakan jalan Cinta ini, dari beliau-beliaulah cahaya ini terpercik itu, sampai di dada ini.

Ketika aku mengenang orang tuaku, terbayang beliau sebagai "busur"nya, sementara aku ini panahnya, dan dibalik busur itu ada Dia, Sang Maha Pembidik itu. Ketika, ketika, ketika....

Kawan-kawan, sampai kepada ketika aku betemu orang atau barang, yang nampak citra buruk lahiriyahnya, maka tetap aku sapa dengan cinta, karena aku tidak melihat keburukannya, aku abaikan aib-aibnya, dan aku pandang bahwa semua ini,mereka semua itu adalah sentuhan "tangan" lembut dariNya itu....

Maha Suci Dia!!!....


catatan : 

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel