RAHASIA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, rahasianya apa, para Sahabat Allah itu meninggalkan
kenyamanan dan kenikmatan dunia yang sesaat dan terus menerus
menghidupkan siang dan malam dengan ibadah [ritual dan komunal,
mahdhoh dan mu'amalah] berdasarkan waktunya? Dalam hal ini Rumi
menulis: derita dan duka yang datangnya dari "Sahabat"
melahirkan keterjagaan hatiku, dipuncak derita Dia bermahkota,
bersamaNya derita menjadi manis, jauh dariNya kegembiraan menjadi
pahit.
Hal
ini tidak mengagetkan karena bagi pecinta kepadaNya menjadikan dunia
ini "ladang" akhirat, dimana sesungguhnya Dia telah
menjadikan dunia ini tunduk kepada manusia [bukan sebaliknya], dimana
manusia sebagai hamba-hambaNya tetapi sekaligus hamba-hamba itu
sebagai kekasihNya bila didadanya ada penyakit abadi yang bernama
"rindu" itu padaNya. Dalam reposisi ini manusia tidak
selayaknya menguasai dunia pada setiap aspek dan sudutnya, melainkan
sekedar menjadi "batu asah" atas ketajaman cinta kepadaNya
dan sekedar menjadikan dunia sebagai tempat tinggal sementara.
Urgensi
dunia sebagai "ladang" ini tiada lain adalah tempat untuk
menyemai benih-benih kebaikan, yang bibit-bibitnya terambil dari
cabang-cabangnya iman--yang berjumlah 70 jenis atau lebih itu. Dari
sinilah manusia mengambil perbekalan secukupnya, perbekalan yang akan
membawa mereka menuju tempat tinggalnya yang permanen, melintasi
surga dan bidadari, karena surga bagi para pecinta kepadaNya adalah
kedekatan kepadaNya itu, bagai kedekatan dengan kekasih.
Bagi
pecinta, tidak ada kebahagiaan, tiada keselamatan, tiada kemenangan
tanpa perjumpa denganNya. Satu-satunya jalan menjumpaiNya adalah
menghadapi kematian itu dengan dibalut rasa cinta kepadaNya. Kematian
disini bisa dua ranah, kematian nafsu tercela dan kematian fisik
dalam rangka bersatunya jiwa dengan Sang Ruh itu. Setelah manusia
selalu mengingatnya dengan cara terus menerus berfikir tentangNya,
sifat dan af'alNya, bertafakkur ciptaanNya yang menakjubkan, lalu
berfikir tidak ada wujud yang lain selain wujudNya, maka manusia akan
memperoleh buah kecintaanNya ini.
Perbekalan
ini akan membawa manusia sedemikian rupa sehingga ia selamat dari
tipudaya dan muslihat dunia--yang urgensinya hanya sebagai batu asah
cintanya itu. Jadinya, sejenak manusia di dunia ini bagian dari
menempuh perjalanan panjang, setiap tahunnya adalah tempat
pemberhentian, setiap detiknya adalah langkah dalam perjalanan ini.
Sumber dayanya adalah "waktu", amal ibadah dan taat sebagai
"kekayaan"nya, hawa nafsu dan keinginan adalah para
penghalang dan perampok dalam perjalanannya, lalu keuntungannya
adalah "melihat dan berjumpa" denganNya, di Taman
Kebahagiaan.
Kerugiannya
adalah "jauh" dariNya, kalau boleh disebut nerakanya adalah
jauh dariNya itu. Lagi-lagi bagi pecinta yang menjadi hiasan hidupnya
adalah mabuk cinta itu, dengan cara beribadah dengan makna yang
seluas-luasnya--kalau menurut Rumi mabuk pelayanan itu. Dan
perbekalan yang berasal dari tindakan cinta dengan cara menanam
[bagai petani, dengan segala prosesnya sampai panen] dari bibit-bibit
iman yang dirinci Kanjeng Nabi, dari menyingkirkan duri di jalan
samai kalimah tahlil [Laailaahaillaah], selebihnya adalah asal makruf
[perkara yang menurut syari'ar benar] adalah bagian dari sarana dalam
mabuk pelayanan itu....
Kawan-kawan,
memahami cinta sebenarnya tidak sulit asal memahami rahasianya
ini--rahasia Cinta. Kesulitan itu ternyata bersumber dari diri ini
yang terselungi oleh hawa sebagai penghalangnya, ia tidak berada di
luar, tetapi berada dalam diri ini, ia tidak nampak tetapi bisa
membebani sehingga panggilan Cinta demikian berat untuk kita
lakukan....
Bagaimana
menurut Anda?....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.