PARKIR CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, pada saat perempuan-perempuan yg di undang oleh siti Zulaikhah memandang pesona kegantengan Nabi Yusuf As, maka pisau yg sebenarnya untuk membelah mangga ternyata malah mengiris-ngiris tangan mereka, namun tidak terasa berkat pesona itu. Hal ini bisa berlaku juga pada pesona kecantikan wanita, wajah, alis, tai lalat, dan kemerah-merahan bibirnya, Tuhan lebih nampak terang dibalik selubung halus itu.
Inilah yg melatar belakangi wanita itu disebut bayang-bayang Tuhan. Kesadaran ini dimiliki oleh seorang kiyai ndeso (kampung) dimana jamaliyah Tuhan terselubungi oleh pesona wanita. Kenyataan ini sangat real didepan mata beliau ketika tetangganya nanggap dangdut dengan penyanyi-penyanyi berbusana minim sampai-sampai ketika mereka berjingkrak—maaf—terlihat celana dalamnya yg sebenarnya untuk menutupi barang yg diselempitkan Tuhan itu.
Pertunjukan ini membikin penonton bergembira ria sampai-sampai tak kenal lelah, tak kenal waktu, dan menjadi fly. Drama ini bukan tanpa sepengetahuan kyai, malah yg punya gawe pernah mohon restu kapadanya, dan dijawab,,apik,apik,apik. Dan—Masya Allah—kyai kampung itu ambil peran membantu yg punya gawe menjadi tukang parkir kendaraan penonton dibantu para murid-muridnya.
Sehingga sepertinya kyai itu bilang menontonlah dengan tenang, aku jaga kendaraan-kendaraan kamu itu. Bagi murid beliau, melihat pesona yg dipandang penonton itu bagai lilin-lilin kecil karena didadanya telah beliau tunjukkan ada matahari. Kalau didadamu ada matahari mengapa terpesona pada lilin, kalau dadamu bagai samudera mengapa terkecoh oleh sungai-sungai, sehingga pribadi murid itu menjadi megah. Kalau toh kenyataan didepan mata penonton itu terpesona kepada selubung-selubung halus, itu hanya merupakan tanjakan yang pada akhirnya, sesuai dengan perkembangan jiwa-jiwa seiring waktu akan naik juga dan berkembang.
Latarkabunna Thobaqon Anthobaq (Sungguh kamu semua akan naik setingkat demi setingkat). Pemahaman ini yang menjadikan kyai kampung itu memiliki adab tidak mau memperolok-olok, merendah-rendahkan , dan menghakimi pihak lain, karena beliau tau betul Uluhiyah dan Rububiyah Tuhan yang bersumber dari yang Satu itu.
Kegembiraan penonton dipandang sebagai hal yang temporal dan non-eksistensi, hanya selayang pandang, tidak abadi. Maka setelah usai perhelatan itu, suasana kembali ke sepi, sepi,sepi,sepi, dan sunyi. Sementara kegembiraan yg sesaat itu lepas, mereka kembali dihadapkan pada kenyataan-kenyataan hidup, pekerjaan tidak jelas, jodoh juga tidak jelas kapan, anak-anak besok harus sarapan pagi, istrinya menagih balanja, hutang belum terbayar, dan lain sebagainya.
Bagi para biduan esok paginya harus mengundang tukang pijet karena terkilir pantatnya saat goyang ngebor, ngecor, dan goyang patah-patah, semuanya terlelap dibuai malam. Namun kyai kampung ini justru terjaga beserta murid-muridnya di Musholla sebelah rumah, menyongsong cahaya subuh dengan takbir sholatnya, dan bermunajat yang diamini santrinya dengan kegairahan dan nyala hati….
Ya Allah malam ini kami bersyukur bisa melayani mereka dengan menjadi tukang parkir. Mereka baru melihat selubung-selubung halus-Mu, mereka sudah ambruk dan bersimpuh lupa selain itu. Kami mohon kepada-Mu tingkatkan pandangan mata hati mereka untuk sampai memandang-Mu, memandang-Mu, memandang-Mu...
Melihat pesona-pesona itu saja mereka sudah bergembira ria, andai melihat pesona-pesona-Mu tentu kegembiraan itu menjadi tak terkira….
Kawan-kawan, doa kyai itu diamini dengan air mata para santrinya tepat pada saat Tarkhim bergema….
Ashssholatuwassalamualaik, Ya Rasuuuuulallooooooh….


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel