MUSIK CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, aku sangat mendukung musik dan tarian sebagai salah satu metode untuk melatih spiritual. Seandainya ada larangan musik--setahuku--itu tidak mengikat, artinya banyak ahli fikih yang secara spesifik meperbolehkan musik bagi orang-orang yang memiliki cukup kekuatan untuk mengendalikan diri. Kalau ada yang melarang itu hanya semacam kekhawatiran kalau musik hanya dinikmati secara indera yang lepas kontrol--mengumbar syahwat. Tetapi kalau musik dinikmati dengan hening, dalam kondisi fokus (khusyu') dan jauh dari keadaan yang tidak menyenangkan--misalnya dalam keadaan tidak lapar, sakit,atau jiwa yang ragu--musik dapat mempengaruhi bertambah kuatnya memahami keindahan Ilahi robbi.

Inilah yang bisa kita sebut Musik Cinta, karena apa saja sebenarnya di semesta ini bisa menjadi isyarat jiwa dan perantara jiwa untuk memahami keindahan Ilahi itu. Efek ini bisa menjadi tambah kuat melalui bentuk tarian, karena gerakan tubuh yang berulang-ulang--khususnya yang memutar-mutar itu--bisa menyerupai gerakan putaran semesta, pengaruhnya terhadap tubuh dan jiwa bisa naik ke awang-awang--bagai mi'raj itu.

 Hal ini bisa terjadi karena keindahan dari benda-benda duniawi selaras dengan keindahan Ilahi, karena keindahan dan keadilan di alam ini, merefleksikan ketauhidan Tuhan, Allah itu. Karena itu tidak aneh kalau orang melihat wajah yang rupawan, bau parfum yang sangat wangi, dan suara indah dan merdu dapat mendorong seseorang untuk mempersepsikan keindahan Tuhan dan dengan cara demikian akan menjadikan manusia terbebas melampaui pembatas-pembatas jiwanya.

Gambaran ini sama dengan ayat-ayat yang disampaikan para Nabi yang tiada bandingannya untuk membangkitkan gairah imajinasi dari orang-orang yang--maaf--bebal. Bila demikian, dari melampaui batas-batas jiwanya itu orang dapat terbebas dari dominasinya dan beralih pada kepatuhan dan keyakinan atau iman itu.

Coba dengarkanlah orkrestanya Beethoven, orkestranya Ummi Kultsum, orkestranya Kiai Kanjeng Cak Nun itu, atau apa saja musik kesukaanmu, maka di situ kita akan merasakan keagungan Tuhan dengan keadaan yang sesuai penggapaian jiwa terhadap keindahan Ilahi itu. Andai seburuk apapun musik--aku terharu--bagi Gus Mik melihat bahwa musik sedemikian saja dan dengan tarian yang sensual itu, tetap menjadi tanda-tanda (jelas memberhala--maaf), dan dido'akan: Ya Allah, orang-orang ini melihat dan mendengar demikian saja sudah mabuk kepayang, bimbinglah hatinya untuk menanjak memandangMu, tentu mereka akan mengalami jutaan kali kemabukan atas pasona keindahan MU itu.

Sebagaimana Rumi, yang mendengar ketukan tukang pande besi yang demikian saja, di telinga orang pukulan besi itu berbunyi: dang, deng, dong, dang, deng, dong, tetapi di hati Rumi bunyi pukulan besi itu menjadi musik cinta: hu, hu, hu, hu, Dia, Dia, Dia, Dia. Dalam seribu kemabukan Rumi, menari bagai tarian semesta pada porosnya, sampai kakinya bisa terangkat satu meter dari atas tanah, bagai gasing itu. Dan sampai hari ini tidak ada satupun yang sudah belajar tari Darwis ini puluhan tahun, bisa menyamai Rumi menari itu, walau 4000 penari datang saat khulnya itu, tak satupun bisa....

Kawan-kawan, bagaimana diri kita kala mendengar musik alam: burung menyanyi, deru gelombang lautan, angin mendesir pada gesekan daun bambu, tetesan air hujan dari atas genting: tik, tik, tik, halilintar menggelegar, katak bernyanyi pada sepanjang malam hari, anjing mengonggong, ayam berkokok, kambing mengembik, singa mengaum, adzan menggema, tarkhim membahana di fajar hari, Qur'an mengalun dari bibir qori'nya, gema shalawat dengan rancak rebananya, gitar dipetik, biola digesek, seruling ditiup, drum di pukul, mandolin dimainkan, siter dibunyikan, gendang ditabuh, gamelan dialunkan, jangkrik berjingkrak dengan kidung semalam, sampai bunyi kentut dengan berbagai variasinya itu.

Andai kita bayangkan dakam waktu yang bersamaan, bukanlah itu musik orkestra alam yang sangat indah, yang tak bisa ditiru oleh siapapun dan mengema agung dalam jeritan hati: hu, hu, hu, hu, hu, hu, Dia, Dua, Dia, Dia, Dia, Dia....

Engkaupun menari dalam kemabukan ini, sebab mana yang tidak mengabarkan tentang Dia, bagai Rumi menari itu....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel