DZAT CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, kalau manusia menyembah Tuhan yang diciptakan secara imajiner dan artifisial, karena setiap orang telah membangun semacam bentuk imajiner dalam pikirannya, yang dianggap sebagai Tuhan yang Mutlak. Pola keberagamaan ini menyembah bentuk Tuhan, meskipun sebenarnya Tuhan tersebut hanyalah sebuah produk artifisial pikiran manusia.

Lihatlah pada ranah pergaulan, mereka--amat parah--menganggap orang-orang yang disebut menyembah berhala itu adalah sesat, mereka menuduh kafir dan pengikut setia patung-patung berhala. Nah, padahal kesalahan tersebut juga ada pada diri mereka sendiri sebab mereka juga menyembah berhala--imajiner itu.

Keimanan ini tertuju hanya kepada berhala, maka keberagamaan ini tidak menyadari adanya Tuhan dari segala Tuhan--Kebaikan Yang Mutlak. Ranah ini bisa diklasifikasikan benere dewe, naik ke benere orang banyak karena ada perbedaan antara tuhan model tersebut dengan Tuhan dari semua Tuhan itu. Orang-orang yang mencapai Wajah Tuhan tetapi bukan dzat Tuhan adalah



para penyembah berhala--buktinya kawan--siang malam bertarung dan berdebat dengan orang lain, orangnya fanatik buta dan tidak memiliki serta menentang sikap siapapun yang berbeda dengan mereka itu.

Sedangkan orang-orang yang mencapai Wajah dan Dzat Tuhan, menyembah hanya kepada Tuhan Yang Esa itu, sebagai sorang muwahhid dan membebaskan diri dari penyembahan berhala, buktinya merekalah orang-orang yang menciptakan perdamaian dengan seluruh umat manusia dan membebaskan diri dari perselisihan dan pencelaan ide-ide orang lain. Dengan kata lain, bila seseorang belum mencapai pada tataran tersebut--akuilah saja--pandangan mencapai Wajah Tuhan itu menunjukkan ia masih politeis yang membuat sekutu untuk Tuhan (yang disebut musyrik itu), meskipun pada dataran pengakuannya ia mengaku menyembah Tuhan.

Orang ini disebut oleh Allah--dalam Qur'an--Dan mereka tidak menghormati Allah dengan semestinya. Allah dengan struktur khayalan pribadi inilah yang disebut tidak menghormati dengan semestinya, karena hal ini bagian dari mempertahankan pemujaan pada diri sendiri. Sesuatu yang dipahami melalui akal dan pandangan mata merupakan gambaran yang terbentuk oleh fantasi dan hayalan semata--yang subyektif--karena khayalan itu tunduk pada batas-batas rasio dan khayalan itu sendiri.

Pada ujungnya, apa yang aku paparkan ini bagian dari proses mengajak pengejawantahan cinta pada dataran kenyataan atas dasar keyakinan Tuhan dari segala tuhan, dimana wujud nyatanya adalah mempersiapkan diri dengan sifat pengabdian, berprilaku sangat lapang dada, dan terbebas serta jauh dari segala kepentingan atau gangguan yang formal atau spiritual itu.

Dengan demikian bisa diperjelas buktinya antara orang yang memandang Wajah Tuhan dengan Dzat Tuhan--bahasaku Dzat Cinta--terbaca dalam kenyataan, dimana bagi yang pertama masih mengedepankan pertengkaran yang kedua mengejawantahkan perdamaian abadi. Bagi yang merasakan Dzat Cinta, maka ia akan memuji apa pun yang essensinya baik dan yang menyebabkan kesempurnaan manusia.

Biarkan dan relakan setiap agama dan umat memelihara ritual dan ibadah mereka masing-masing, karena sikap terpancing dan terikat pada kata-kata (Jawa, aran) dan ekspresi masing-masing agama adalah bentuk kekafiran juga. Jadinya--aku ingat dawuh Kanjeng Nai saw--kalau orang mengafirkan orang maka hakekatnya ia adalah orang kafir itu sendiri....

Kawan-kawan, aku rindu pada suasana damai yang saling menyadari bahwa berbagai macam wujud tajjaliNya ini, ditampilkan dalam berbagai keyakinan umat manusia adalah seruling jiwa yang rindu akan kembali ke rumpun bambu itu--walau berbeda--sesunguhnya berdasar pada Cinta kepada Wujud yang Satu itu....

Punten Semuanya....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel