MASYA ALLAH CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ketika aku beserta istri mengantarkan anak-anak mau sekolah dan modok di Pesantren Kudus, mampir ke sebuah toko untuk belanja belbagai kebutuhan selama di Pesantren. Sambil menunggu belanja, aku ngobrol sama tukan sol sepatu sandal di emperan toko itu. Selama itu, aku merasa asyik dengan dia karena tukang sol sandal dan sepatu itu senang kisah-kisah yang menakjubkan dalam ranah adab dan sopan santun.

Begitu aku gantian berkisah, dia letakkan palu dan tali-tali lembut warna kecoklatan dan jarum penusuk sandal dan sepatu. Sorot matanya tajam menatapku: tatapan mata rindu Kanjeng Nabi. Kala Kanjeng Nabi sedang berkhotbah di suatu tempat--aku mulai berkisah--beliau melihat sebatang pelepah korma yang sudah rapuh tergeletak. Seketika itu kanjeng Nabi menghentikan pidatonya dan menyambangi itu pelapah korma yang sudah rapuh. Kanjeng Nabi meneteskan airmata sambil mengelus-elus itu pelepah. Ditanya sahabat: kenapa engkau menangisi pelepah rapuh ini wahai Rasulullah? Iya--Kanjeng Nabi menjawab--pelepah korma ini pernah menemani hari-hari sulitku, untuk aku jadikan tongkat kala berkhutbah.

Aku lihat reaksi tukang sol itu, sambil geleng-geleng kepala karena ketakjuban atas penghargaan jasa batang pelepah korma, dengan getar bibirnya: masyaaAllah! Kenapa--aku tanya--kok menggesa masyaaAllah? Aku--katanya--terkenang jasa orang-orang yang telah berbuat baik kepadaku.
Kala Kanjeng Nabi menggendong bayi dari seorang Ibu--kisahku berlanjut--tiba-tiba bayi itu pipis. Ibu itu langsung merebut bayinya dari timangan beliau, karena malu anaknya mipisi pakaian Kanjeng Nabi. Beliau lalu mengingatkan kepada Ibu itu: Ibu, aku tahu hatimu, kalau soal pakaianku dipipisi anakmu, ini kan bisa dicuci, tetapi kasarmu mengambil anak ini dari timanganku, itu yang tidak bisa diganti.

Lagi-lagi tukang sol itu menggesa dengan lebih keras: masyaaAllah! Kenapa Pak--aku desak lagi dia. Jawabnya: aku terkenang kekasaranku pernah memukul anakku, ternyata pukulan itu dikenang sampai dia dewasa kini, aku sangat menyesali diri, aku malu kepada Kanjeng Nabi itu, andai beliau melihatku.
Kala Kanjeng Nabi melintasi sebuah gurun padang pasir nan terik--kisahku lagi--Beliau melihat tukang pemecah batu, maka berhentilah beliau lalu mendekati itu orang pemecah batu yang tubuhnya terpanggang panasnya matahari di gurun sahara. Beliau tahu, pekerja kasar seperti dia itu, demi memberi makan anak-anaknya secara halal dan barokah, bekerja seperti itu dalam rangka menghindari suara-suara nafsu: mencuri, merampok, nyopet dan lain sebagainya. Sehingga pernah keluar dari bibir suci beliau, kalau orang yang bekerja keras dan kasar itu bisa menjadi tebusan dosa-dosanya.
Aku lihat mata tukang sol sepatu itu meneteskan airmata, ia seka dengan tangan kanannya, keluar tambah deras itu airmata. Lalu Kanjeng Nabi--setelah uluk salam kepada tukang pemecah batu--kemudian mencium tanganya seraya dawuh: sebab tanganmu bekerja ini, engkau tidak akan tersentuh api neraka....

Kawan-kawan, tukang sol itu menjerit: masyaaAllah!!! Aku tidak sempat lagi bertanya kepada dia kenapa, karena dia menangis sesengguan, aku pun menangis bahagia melihat hati orang itu, hati yang dilanda rindu kepada orang yang paling cinta kepada Allah itu. Kisah itu mungkin mengandaikan dirinya, asal tidak mencuri, merampok, demi kehalalan untuk menyuapi anak-anak-istrinya, biarlah jadi tukang sol sepatu dan sandal, dia ridho.

Aku pamit dengan linangan airmata, dengan merasa bahwa hatiku kalah rindu dengan hati tukang sol sandal dan sepatu itu. Istriku bertanya, kenapa menangis Mas? Aku jawab: tidak apa-apa Dik, tidak apa-apa, tetapi airmataku tak bisa menipunya....



catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel