KENAPA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, salah satu ciri utama orang yang belum faham adalah muncul
pertanyaan-pertanyaan, walau tidak terucapkan namun gamang dalam
kalbunya itu. Ketika karunia tak terhingga diterima, orang tidak
menghadirkan Dia dalam sentuhan yang penuh kasih sayang dan cinta,
namun ketika secercah derita diberikan yang menunjukkan bahwa Dia
rindu kepada hambaNya, dimana selama ini kekasihNya itu hilang maka
orang menohok kepadaNya dengan pertanyaan: kenapa? Kenapa pesawat
jatuh, kenapa putus cinta, kenapa miskin, kenapa rejeki seret, kenapa
kecelakan, kenapa terlambat, kenapa marah, kenapa diam, kenapa
datang, kenapa pergi, kenapa susah, kenapa sakit, kenapa mati, kenapa
hilang, kenapa rugi, kenapa gagal, kenapa,kenapa, kenapa, kenapa
sampai kenapa gunung-gunung itu meletus--termasuk--kenapa Merapi itu
meletus?
Semua
kejadian ini--dalam ranah Cinta--adalah kebijakan yang mengarah
kepada manifestasi kasih sayang semata dariNya itu, tidak ada yang
lain, tidak ada. Dari sinilah latar belakang tangis Kanjeng Nabi saw,
ketika menerima dua ayat di sepertiga malam sampai menangis
sesenggukan sampai subuh hampir kesiangan itu: Sesungguhnya di dalam
penciptaan Allah langit dan bumi serta pergantian siang dan malam
hari, sungguh ada tanda-tanda bukti bagi orang yang cerdik cendikia.
Yakni orang yang mengingat Allah dengan berdiri, dengan duduk dan
berbaring dan berfikir dalam penciptaan langit dan bumi, dia berdo'a:
wahai Tuhan kami, tidak ada yang sia-sia dalam ciptaanMu ini. Maha
Suci Engkau, jauhkan kami dari api neraka.
Dengan
ayat ini beliau mengatakan kepada Bilal yang mendatangi saat itu:
Wahai Bilal, siapapun yang tidak memahami ayat ini, sungguh ia akan
celaka [Jawa,ciloko menchit]. Dari sinilah aku meniru
[sedikit-sedikit] kepada beliau bahwa aku tidak akan berani
meremehkan apa dan siapa, tidak berani mengejek apa dan siapa, tidak
berani memperolok apa dan siapa, tidak berani menghakimi apa dan
siapa, tidak berani menyakiti apa dan siapa, tidak berani
mengomentari apa dan siapa [kecuali share aja], tidak berani
mengkritik apa dan siapa, tidak berani membunuh apa dan siapa, tidak
berani, tidak berani, tidak berani--sungguh!
Malah
sebaiknya saja aku mengalah [mengAllah itu], aku lebih memilih
didepak daripada mendepak, aku memilih diusir daripada mengusir, aku
lebih memilih diisolir daripada mengisolir, aku lebih memilih
ditendang daripada menendang, lebih memilih dipukul daripada memukul,
aku lebih memilih dipegat daripada memegat, aku lebih memilih derita
daripada kegembiraan, aku lebih memilih jadi orang terasing--walau di
negrinya sendiri ini.
Aku
tidak berani bertanya kenapa presidennya kok itu, kenapa DPRnya kok
begitu, kenapa pejabatnya kok begitu, kenapa hakimnya kok begitu,
kenapa gubernurnya kok begitu, kenapa satpol PPnya kok begitu, kenapa
polisinya kok begitu, kenapa kok Camatnya begitu, kenapa kok Lurahnya
begitu, kenapa kok RWnya begitu kenapa kok RTnya begitu, kenapa kok
Ulama'nya begitu, kenapa rakyatnya kok begitu, kanapa, kenapa, kenapa
dengan sejuta masalah ini.
Ketidakberanianku
ini berdasar atas asumsiku bahwa dalam diriku ada semacam belantara
yang membutuhkan pembenahan-pembenahan--walau umurku habispun--yang
tak habis-habisnya, merasa belum beres itu. Namun kalau ada orang
yang berani [kendel] menilai dan berkomentar serta sampai
menjelek-jelekkan diriku ini, aku malah berterimakasih karena aku
berfikir: ditengah ia harus membenahi kebelantaraan dirinya [kok
kober-kobere] punya perhatian kepadaku, walau wujudnya adalah
menghinaku dan menghabisiku.
Aku
takjub kepada orang yang berani itu, aku takjub kepada orang yang
ahli mengkritik itu--sungguh. Aku sebut ada belantara dalam diriku
karena [mohon maaf] ada anjing disini, ada babi disini, ada kera di
sini, ada kerbau di sini, ada singa dan macan di sini, ada merak di
sini, ada burung gagak di sini, ada duri di sini, ada serigala di
sini, ada buaya di sini, ada kucing di sini, ada, ada, ada, ada
sebanyak spesies kebinatangan di sini. Di sisi lain aku memiliki
kesibukan membangun taman dalam diriku dengan pohon-pohon hasanah,
dengan bunga-bunga yang beraroma mewangi dengan sungai-sungai
gemericik mengalir, dengan telaga-telaga bening untuk bercermin dan
membersihkan diri....
Kawan-kawan,
bukannya aku tidak peduli kepada semua itu, tetapi aku merasa ada
proses abadi dariNya, proses yang amat sangat terasa panjaaaaang
dalam hidup ini, yang umurku bagai seumur jagung ini tentu tidak
mampu membereskan, sampai aku tidak berani bertanya kenapa semua ini
terjadi. Pertanyaan kenapa ini, bagiku menunjukkan bahwa aku tidak
memahami kemenyeluruhan hidup yang dicipta, yang dipersiapkan, yang
disempurnakan, yang disucikan, yang dibenahi sampai pada titik yang
ditujuNya itu.
Sering
aku menyatakan kita ini adalah sebuah anak panah yang dilepaskan dari
sebuah busur dan Dialah Pembidiknya Yang--tentu--Maha Titis itu
[sederhana kan?]. Aku hanya ingin seperti bintang, yang masing-masing
sunyi bagi yang lainnya, cuma bintang itu saling melepaskan cahaya.
Bermilyar bahkan bermilyun bintang saling berbagi cahaya, walau bukan
bintang aku merasa cukup ada semacam seekor kunang dalam kegelapan
kebelantaraanku ini, cahaya kunang itulah yang menuntun dalam titian
hidupku, ia yang berada dalam sudut hatiku, ia yang bak mutiara aku
temukan, cahayanya yang berkilau itu cukup membuat diriku merasa
bahwa tidak hanya hati ini segumpal daging, namun seluruh tubuhku
terasa menjadi hati sampai bulu-bulu tubuhku terasa bagai lidah yang
berbicara tentang Cinta, sebagai ekspresi menebar cahaya dan aku bisa
berhari raya setiap detik serasa.
Dari
sinilah aku tidak sempat bertanya: kenapa? Cuma kalau aku melihat
duri lalu aku singkirkan, kalau melihat anak yatim aku bantu
semampuku, kalau melihat yang susah aku gembirakan [walau hanya
nasehat], kalau melihat yang bersin aku do'akan yarhamukallah, kalau
melihat undangan aku datangi, kalau melihat sedulur yang meninggal
aku layati, kalau ada yang sakit aku jenguk, kalau ada yang salah aku
maafkan, kalau ada yang mendiamkan aku sapa, kalau ada yang memutus
aku sambung, kalau ada yang bakhil [Jawa: medhit] aku punjung
[kirimi], kalau ada yang menangis aku seka, kalau ada yang, kalau ada
yang, kalau ada yang, kalau ada yang, sampai diriku hilang, sampai
diriku hilang, sampai diriku hilang....
Menjelang!!!
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.