KIAMAT CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, kata kiamat sudah melintasi zaman demi zaman dan waktu demi waktu, kekasih-kekasih Allah pun sudah menyampaikannya tentang kiamat ini, maknanya Kanjeng Nabi saw pada suatu majlis ditanya oleh orang baduwi: ya Rasulallah kapan sih datangnya kiamat, engkau selalu menyebutnya? Pertanyaan ini dibalik dengan beliau bertanya kepada si baduwi: apakah engkau sudah cukup perbekalanya? Belum wahai Rasulullah--jawabnya, imanku belum sempurna, ibadahku amburadul, budi pekertiku kacau, masih suka menghina saudara, mengejek teman, meremeh-remehkan sedulur, bermaksiat dan seterusnya yang bersifat menunjukkan kebelumsiapan akan menghadapi kiamat itu, namun bekalnya tidak ada.


Maka Kanjeng Nabi saw bertanya lagi: lalu apa bekalmu? Spontan orang sederhana model baduwi ini menjawab: berbekal mencintamu! Atas jawaban ini beliau sambil tersenyum menjawab: shodaqta, benar kamu, orang itu di mahsyar nanti akan dikumpulkan dengan orang yang dicintainya.


Aku pernah membaca tentang kiamat kecil [shughra] dan kiamat besar [kubra] dan percaya pasti terjadi karena ini bagian dari"sunnah"Nya itu, namun bila ditinjau dari sudut pandang antara yang kongkrit dan abstrak itu bisa dimaknai lebih luas tidak hanya kerusakan yang bersifat bendawi ini, kita mati dan semesta hancur lebur lalu manusia dikumpulkan di padang makhsyar dalam keadaan telanjang bulat itu.


Kiamat kongkrit bentuknya adalah rusaknya diri dan alam semesta ini, sementara kiamat abstrak wujudnya adalah hilangnya Cinta yang ada di dalam dada manusia ini. Wujud kongkrit selalu menyeret kepada hal-hal yang abstrak, dimana orang Jawa menyatakan yang "lahir" itu utusannya yang "batin", keduanya adalah bentuk nyata tentang ketauhidan ini. Fenomena ini terjadi bagian dari kenyataan bahwa: Dia ingin di kenal--sebagaimana pernyataan Allah itu sendiri.


Ketika orang akan mengetahui hal-hal yang tak nampak dalam pandangan mata kepala, maka ia harus membayar dengan memahami dan merasakan akan ilmu ketiadaan, dan ongkosnya itu mati maksimalnya kiamat itu. Mati pun bisa dipandang dengan dua ranah itu: kongkrit dan abstrak. Ada yang mati sebelum mati, ada yang hidup sesudah mati, kalau diperpanjang: kalau ada yang hidup pikirlah kematiannya dimana dan kalau ada yang mati pikirlah dimana kehidupannya itu.


Kalau andai kiamat sughra atau kubra sekalipun, pertanyaannya adalah: apa sih arti karunia ini dibanding dengan Sang Penciptanya, apa sih arti surga dibanding dengan Pembikinnya? Dari sini bisa difahami, semua tergantung target dari perjalanan jiwa-jiwa manusia, dan semua dijawab olehNya: aku tergantung prasangka hamba kepadaKu itu. Kalimat sederhana namun sarat makna, dan menjadi kunci rahasia Cinta: aku jauh engkau jauh, aku dekat engkau dekat, hati adalah cermin tempat pahala dan dosa berpadu.


Penjelasan Kanjeng Nabi saw begitu indah, pertanyaan baduwi tidak dijawab dengan rincian akademik tentang kiamat, namun dipertanyakan soal pembekalannya, bagai orang bertanya tentang panen lalu beliau menanyakan proses menanamnya itu. Jawaban baduwi juga tak kalah indahnya, ia tak merinci kebaikannya, tetapi mengedepankan kejelekannya itu, bahkan sedemikian percaya terhadap cinta: aku berbekal mencintaimu--katanya tegas.


Kalau Rasulullah mengajarkan tentang mengabaikan rusaknya karunia [kalau soal ini Dia bisa bikin lagi yang lebih indah dari yang rusak itu], namun menanyakan tentang bekal yang baik, untuk menuju Tuhan yang mutlak kebaikanNya itu, ya mutlak. Walau Kanjeng Nabi belum sampai mejelaskan dengan kata, namun telah mengajarkan untuk "mengalami dan menjalankan" cinta, dan dijawab dengan amat sangat cerdas oleh orang yang bukan profesor atau doktor atau sarjana atau 'alim ini: aku mencintaimu! Artinya, mencintai beliau tentu akan dibawa kepada mencintaiNya itu, ada sebuah riwayat dalam hadis Qudsi: Tuhan bertanya kepada Kanjeng Nabi: semesta ini milik siapa? MilikMu ya Rabb--jawab Nabi saw. Kamu, Muhammad milik siapa? MilikMu juga Gustiku. Kemudian Aku [Allah] ini milik siapa Muhammad? Pertanyaan terakhir ini beliau tak menjawabnya, kemudian dijawab oleh Allah sendiri: Aku ini milik orang yang mencintaimu....


Kawan-kawan, jawaban baduwi itu bila kita abstraksikan maka akan muncul pemahaman dan kesadaran: apalah artinya tubuh bila sudah rusak dan mati, apalah artinya karunia ciptaan ini bila rusak dan hancur bahkan musnah sekalipun dibandingkan dengan kehilangan kasih sayang dan cinta. Kalau emas permata dan intan itu masih bernilai tetapi Cinta menjadi tak ternilai, kalau semesta ini hancur maka Dia bisa bikin lagi yang sekelas surga yang bertingkat-tingkat itu indahnya. Bagi si baduwi, kehilangan Cinta itulah kiamat yang sebenarnya dalam hidupnya itu karena kalau tidak mencintai orang yang paling mencintaiNya ini maka ia tidak akan mungkin memilikiNya itu, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin.


Lihatlah sejarah, beliau banyak dikelilingi orang-orang yang semacam baduwi ini, bukan orang-orang yang pongah, yang tanpa mengenal cinta itu. Misalnya Bilal, budak hitam yang bersuara merdu--rendah hati--yang dalam hidupnya tak pernah bejarak dengan kekasihNya itu--dalam suka duka--sampai beliau meninggal. Hati Bilal berguncang bukan karena derita dan nestapa dunia, tetapi berguncang atas kehilangan kedekatan dengan orang yang paling mencintaNya itu, yakni Rasulullah kekasih penebar CintaNya, yang mengenalkan dia dengan Allah, mewarisinya dengan kalam SuciNya, memandu jalan menujuNya, dan akan men"syafa'ati"nya di hari-hari sulit nanti.


Siapa yang tidak berhutang budi atas cinta ini, itulah yang muncul secara spontan dari orang-orang kecil semacam baduwi itu, atau semacam Bilal yang kala sepeninggal Kanjeng Nabi dalam tugasnya sebagai mu'adzin Masjid Nabawi, begitu kalimatnya sampai asyhadu anna Mmmm......ia tersungkur di lantai Masjid karena bibirnya tak mampu menampung kerinduan kepada kekasih Allah itu....




catatan : 

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel