KEHADIRAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, seorang santri yang aku rawat sejak kecil datang menceritakan kematian istrinya yang hafal Qur'an itu. Anakku itu menikah atas dasar suka sama suka, santri sama santri, namun ketika memasuki masa-masa bulan madu--hanya selayang pandang--istrinya itu mengalami sakit bocor jantungnya, sehingga bulan madu dihiasi keluar masuk rumah sakit.

Dengan setianya anakku itu merawat istrinya--keluar masuk rumah sakit--selama tiga tahun, luar biasa--termasuk beayanya itu. Anehnya selama sakit itu, diizinkan Allah mengandung, sehingga bisa dibayangkan akan penderitaan itu. Di tengah sakit istrinya itu pernah mengusulkan anakku--namanya Masrur Muhammad--supaya menikah lagi karena dia merasa sudah tidak bisa melayani dari sisi seksualitas: mas--bisiknya--menikahlah lagi, aku sudah tidak sanggup lagi melayanimu. Tetapi mana mungkin hal itu dilakukan Masrur ini--sapalah dia kawan, di FB--di tengah dia memikirkan kemenyeluruhan dari derita ini.

Sebuah keajaiban terjadi, pada posisi semakin akut bocor jantungnya, istrinya itu melahirkan dengan sempurna tanpa bantuan dokter--cukup bidan saja. Setelah beberapa hari melahirkan dia pamit pulang sama Masrur itu: mas--bisiknya--aku pamit pulang. Ternyata yang dia maksud pulang itu, dia meninggal seraya berpesan titip anaknya dan mengusulkan setelah kematiannya segera menikah lagi.

Selama lima tahun ini Masrur membesarkan anak perempuan itu, dan setiap Jum'at sore menziarahi istrinya yang meninggal itu--belum menikah lagi. Ketika aku mendengarkan dia bertutur dengan melihat sendiri kejadiannya, maka ada benang emas yang menghubungkan antara deritanya dengan suasana hatiku. Aku merasakan pengalaman Masrur itu, seperti aku mengalaminya sendiri. Aku bukan saja membayangkan pikiran atau perasaannya, tetapi melibatkan seluruh diriku dalam pengalaman anak santriku itu. Aku mengalaminya sendiri. Inilah yang biasa aku sebut ilmu menghadirkan atau ilmu khudhuri itu.

Dalam ranah Tuhan, kalau kita mengetahui keberadaan Tuhan dengan bukti akal dan dalil-dalil, pengetahuan ini betapapun hebatnya tidak akan bisa mempengaruhi kehidupan kita. Kecuali, ketika kita merasakan atau mengalami kehadiran Tuhan, baru seluruh eksisitensi kita akan mengalami celupan dan akan merasakan perubahan-perubahan.

Kalau kita hanya bisa membahas hadis-hadis namun tidak merasakan perasaan Kanjeng Nabi dan mengalami pengalaman Kanjeng Nabi, maka pengetahuan ini tidak akan mengantarkan pada perubahan diri kita. Lain halnya andai kita menghadirkan dengan cara itu, maka hati bisa berguncang, berdiri bulu kuduk kita, meregang seluruh otot kita--misalnya--mendengar kisah pertemuan beliau dengan Allah itu. Atau merasakan penderitaan yang dahsyat itu, kita terasa sesak nafas serasa langit jatuh menghimpit kita.

Potensi kehadiran ini sebenarnya setiap orang terbekali kemampuan sampai ke situ, tergantung teraktualisasi atau diabaikan. Apakah kisah istrinya Masrur itu bisa menjadikan kita ikut larut dalam kesedihan. Apakah pengalaman istri ketika mengandung anak-anak kita bisa membuat kita ikut dalam kepayahan itu. Apakah ketika nasib masyarakat di sekitar Lapindo, menjadikan kita empati untuk merasakan penderitaan itu. Apakah kita bisa merasakan sebiji nasi mengalami perjalanan panjang dari petani yang menderita itu sepanjang kehidupan negri ini. Apakah kita sedih ketika melihat tv yang menyiarkan kabar-kabar kejahatan dan kabar-kabar fitnah dengan pembeayaan yang mahal itu. Apakah kita tidak pedih merasakan TKI di Hongkong dan TKW di Saudi Arabia itu yang disiksa majikannya dan diperkosa tuannya itu.

Kalau kita tidak tergetar oleh ini semua, itu tanda bahwa ilmu kehadiran belum bisa kita miliki. Kalau kita tidak tergetar oleh siksaan, pengisolasian, pengusiran, ancaman pembunuhan, dan penyerangan terhadap Kanjeng Nabi dan keluarganya serta sahabat-sahabatnya, maka kita tidak akan bisa merasakan secara ruhaniyah atas kehadiran Kanjeng Nabi saw, di hati kita, apalagi kehadiran cintanya....

Kawan-kawan, melihat onta dimuati diluar batas lalu dicambuki saja, Kanjeng Nabi terguncang hatinya, dan malamnya tidak bisa tidur....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel