DIAM CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ada seorang tamu semangat bercerita tentang nasib dan penderitaan kemanusiaan, aku sangat suka karena melahirkan tingkat kekhudhuran hati yang ujungnya meneteskan empati, lalu aksi mengatasi. Pada saat berbicara tentang kegembiraan hati, aku suka karena akan memercikkan wewangian kepadaku, agar aku bisa meniru sebab percikan itu. Tetapi ketika berbicara bahwa hanya Allah yang ada di hatinya, ternyata ujungnya adalah mengedepankan supremasi dirinya, berbicara ruang dan waktu, aku bertanya-tanya: Allah yang mana itu, ternyata Allahnya, bukan Allah kita semua itu--yang sejati itu.

Tuhan pun bertanya: apakah kamu melihat orang yang mengAllahkan hawa nafsunya? Inilah kekhawatiran Rumi, tahanlah nafas, isyaratkan telunjuk jarimu bila orang berbicara sesuatu, berbisiklah dengan: sssstt, agar pesona ilahiyah yang bagai burung indah hinggap di kepalamu tidak terbang meninggalkanmu. Inilah diam Cinta.

Dahulu--kata Rumi--ketika semua makhluk diciptakan Allah, semua diberi kemampuan mengeluarkan suara. Ketika mereka mengeluarkan suara pertama kalinya, semua makhluk memuji dan mengagungkan Tuhan, kecuali keledai. Keledai hanya mau bersuara, jika lapar atau ingin memuaskan hawa nafsunya.

Model orang yang katanya Allah bermahkota di hatinya--tamuku itu--aku pancing dengan bicara tentang kelaparan, tentang pengangguran, tentang krisis moral, tentang ketidak adilan, tentang hutan terbakar, tentang kebodohan, tentang krisis moneter, tentang gejolak dunia, tentang politik, dia tidak menunjukkan minat kepedulian.

Tetapi begitu bicara tentang ambisi dan ego pribadinya, ia bagai keledai yang kelaparan itu, kata-katanya sudah tidak bisa dikendalikan, meluncur terus. Bicara benar yang sejati itu faktanya ada, yakni bicara hal-hal yang universal, turun sedikit bicara benarnya orang banyak itu bersifat kelompok, terakhir benarnya sendiri itu masuk ke ranah ego dan ambisi pribadi itu.

Ketika kita jagong dengan mendialogkan urusan universal itu berarti juga memuji Tuhan sebagaimana diciptakan pertama kali itu, tetapi ketika kita bicara ego maka kebaikan yang terpercik pasti akan pergi. Jadi diam cinta itu tidak lantas tanpa kata-kata, kita tetep jagong tapi yang dibicarakan adalah pemikiran dan pemecahan atas problem-problem universal itu.

Sementara yang diam itu tidak musti benar juga, manakala melihat penindasan berlangsung dalam kehidupan, tidak ada tindakan membebaskannya. Secara tauhid, membicarakan tentang ketercerabutan atas rahmatNya--dalam banyak jenis--itu berarti memuji kepadaNya, karena mana alam semesta ini yang tidak mengabarkan tentang Dia.

Tetapi begitu masuk ke dalam ranah ego, maka kita akan melupakan banyak tanggungan yang menjadi sarana mengagungkan Tuhan itu, dalam bentuk tindakan nyata. Lihatlah ketika ketika gaji tidak dinaiikkan mereka geger, begitu dikabulkan kembali sunyi, sementara banyak orang miskin menangis dalam sunyi. Lihatlah singa-singa mimbar itu, bersuara keras, sangat vokal, dan sangat kritis--biasanya disebut garis keras--kemudian suaranya hilang ketika sudah memperoleh sesuatu yang diharapkan: menduduki jabatan orang-orang dulu yang dikecamnya itu. Rupanya suara kerasnya itu, banyak omongnya itu bukan pemecahan masalah yang universal--padahal cinta itu universal--tetapi suara kerasnya itu hanya suara keledai. Suara yang keluar karena lapar itu....

Kawan-kawan, memang diam adalah tanda orang yang memperoleh hikmah, tetapi bagi yang bicara dalam mencari solusi universal itu bisa disebut memuji Tuhan, ini bentuk diam yang lain, bukan seperti keledai itu....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel