CNKK CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Kamis, 14 Agustus 2014
Sedulurku tercinta, hari ini ulang tahun orang sederhana di mataku, tetapi termasuk designer gerakan hidupku, Cak Nun dengan Kiai Kanjengnya itu, umurnya kini 57 tahun. Tulisan ini, walau beliau tidak sempat membacanya, bagian dari ucapan selamat ulang tahun, dariku sekeluarga dan semua teman-teman.
Pada usia dini, ia dan seorang Ayah telah dididik keluarganya secara relegius, lahir dari seorang Ibu yang penuh cinta dan seorang Ayah yang taat. Selagi kanak-kanak, konon Cak Nun telah bersahabat dengan Gus Ud, yang ia sebut Kiai Sudrun itu dalam banyak tulisannya. Konon lagi tenggorokannya (telak) pernah diludahi (diidoni) oleh Kiai Sudrun itu. Pengalaman agamawi bersama Gus Ud ini membentuk penampilan dirinya yang unik ini.
Ketika dewasa, selepas keluar dari Pesantren Gontor, berada di Jogja, dunianya berubah drastis tanpa diduga ketemu dengan penyair dan musafir liar Umbu Landu Paranggi. Cak Nun itu bersifat tenang, taat, terhormat, dan berpengaruh. Sementara Umbu itu bersifat kasar, blak-blakan, eksentrik dan menggebu-gebu dalam pengabdian. Akan tetapi ketika kedua orang ini bertemu, mereka mengenali diri masing-masing ada obsesi pada Misteri Kehidupan yang besar. Mereka sahabat jiwa yang sama-sama memiliki antusiasme luhur untuk mencari kebenaran. Apapun hubungan mereka adalah cermin cahaya satu sama lain. Sekarang Umbu itu hilang entah kemana, mungkin tugasnya telah selesai dan Cak Nun meneruskan perjalalan spiritualnya sendiri.
Kini usianya 57 tahun, hatiku bergetar ketika di Gambang Syafaat Semarang, sehabis menyapa Lumpur di Sidoarjo di tengah pertemuan ia bilang pelan: sekarang umurku 56 tahun, kalau aku kejatah seperti Kanjeng Nabi saw, berarti aku kumpul denganmu semua tinggal 7 tahun lagi, aku yo perlu toto-toto rek, namun atas kebersamaanmu semua, malam ini aku bahagia. Gambang Syafaat paling sering aku tinggalkan, tetapi paling mandiri di antara jaringan yang ada.
Setahuku Cak Nun menyapa secara kolektif di beberapa titik: Kenduri Cinta Jakarta, Gambang Syafaat Semarang, Mocopat Syafaat Jogja, Padang mBulan Jombang, Obor Ilahi Malang, Bang-Bang Wetan Surabaya, Tali Kasih Bandung dan masih bertebaran yang aku tidak lengkap mengetahui. Acaranya dari sore hingga dini hari, sering sampai subuh. Kajiannya meluas apa saja untuk saling berbagi solusi kehidupan, di selingi musik apa saja, termasuk kelompok yang tak terpisahkan dengannya, Kiai Kanjeng itu. Semua mengalir bagi sungai yang bisa menarik sebuah samudra di belakangnya.
Aku lebih merasakan kedalamannya, itu bukan kata dan tulisannya, tetapi lewat sorot matanya itu. Karena apa saja yang ia tawarkan adalah wawasan sangat luhur yang menjadi sumber asalnya. Walau kata-kata itu nampak menghibur, bagiku aku raih makna yang tersembunyi, yang kemudian menjadi acuan kearifan hidup. Aku kenal semua saudaranya yang berjumlah 14 orang, genap 15 dengannya. Kalau aku ketemu dia, pasti aku tanyakan Ibunya, Ibu Halimah, yang melahirkannya saat sedang tadarrus Al-Qur'an itu.
Dengan gerakan Maiyah itu, aku rasakan ia bicara dengan suara keabadian, menawarkan kearifan abadi. Buku-buku dia aku baca beulang-ulang, pertama musti masuk ke kepalaku, tapi ujungnya masuk dalam inti batinku. Sepertinya aku digiring dalam pelayaran pencarian mistis yang semuanya menakjubkan. Maiyah ini bagian dari proses panjang hidupnya, dulu orang diperkenalkan pada pemikiran tentang pencarian spiritual, semua diilahiyahkan, terus orang diajak untuk merayakan puncak-puncak pertemuan dengan Sang Kekasih, Tuhan itu. Tentu manifestasi pertemuan itu supaya tidak nyamut-nyamut, maka dihadirkan ke ranah kebudayaan, supaya hati tidak sebatas milik kesalehan personal tetapi, kesalehan komunal: bisa keluarga, bisa organisasi apa saja, bisa negara, bisa bola kecil dunia ini, di tengah samudra raya alam.
Konsep Maiyah, menurutku adalah melakukan perjalanan spiritual, memasuki Misteri Kehidupan dan Kematian, menyatu dengan Tuhan. Akan tetapi, siapa atau apakah Tuhan itu? Pemahaman dia Tuhan bukan sebuah prinsip abstrak. Tuhan adalah Sahabat Tercintanya. Tuhan adalah kekuatan Cinta di dalam kalbu manusia. Tuhan adalah identitas kita yang sebenarnya. Tuhan adalah Kesadaran Alam Semesta yang menghidupkan dan Kesadaran setiap wujud di dalamnya. Keragaman ini adalah manifestasi dari arus cinta dari Lautan yang Satu itu. Semua harus bersama menuju Dia, bergandengan tangan menjelmakan Cinta.
Boleh aku bahasakan bagiku Maiyah itu: aku mencari Aku, mengkitakan aku. Cak Nun menebar keberadaan adalah sebuah Kesatuan yang benar-benar kuat yang mengungkapkan dirinya sebagai kemajemukan yang terdiri dari bagian-bagian tidak terbatas. Dengan Maiyah, Cak Nun tidak memberikan pelajaran yang teratur, supaya tidak terjebak pada satu tataran pemahaman saja. Cak Nun ingin agar kita merasakan betapa besar gambar yang sebenarnya. Kebenaran bersifat ironis secara menyenangkan. Selamat ultah ke 57 Cak, dari kedalaman hatiku, walau engkau aku pahami bagai Ibrahim mau menjeburkan ke api: Allah tahu akan nasibmu....
Aku tetap memanjatkan do'a kepadamu Cak Nun dan Kiai Kanjeng: semoga panjang umur rajin ibadah, diparingi rejeki barokah, anak-anak cucu saleh salehah, kalau tiba saatnya Kekasih memanggil dalam posisi lulus sebagai manusia, khusnul khotimah, takdzimku kepada Cak Nun dan Kiai Kanjeng….
Amin2 ya Rabbal'alamin....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.
Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2
Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.
Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.
Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.
Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.