CAHAYA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, mungkin orang banyak yang jenuh lalu bosan dan apatis
terhadap sejarah yang carut marut, dimana wajah anggun peradaban
seolah lenyap dan tinggal kenangan. Kekerasan demi kekerasan
menghiasi bumi, negara, keluarga dan diri sendiri, sehingga
kesantunan hidup musnah dan nampaklah wajah beringas sebagai letupan
kemarahan--mudah tersentil. Seolah keadaan ini mengotori kehidupan
secara luas, tetapi tidak bagiku, kehidupan yang dicipta dengan
cintaNya ini akan selalu memiliki harmoni, sementara kotoran itu akan
dikembalikan kepada siapa yang mengotorinya.
Aku
mendengar banyak orang yang gelisah dan tidak tenteram, aku mendengar
keluarga yang terkoyak, aku mendengar kampung yang bentrok gara-gara
pesoalan yang tidak jelas jluntrungnya, aku mendengar antar desa
saling perang, aku mendengar antar wilayah porak poranda karena
permusuhan, aku mendengar antar negara bersitegang karena perang
berbagai kepentingan, aku mendengar, aku mendengar, aku mendengar.
Agama
yang notabene menentramkan manusia ternyata diperalat juga untuk
membenarkan konflik itu sehingga keadaan menjadi tambah tak
terkendali, semua berujung kepada tragedi kemanusiaan: terkoyaknya
jiwa-jiwa dan raga-raga. Ada sebuah syair yang mengatakan: aku heran
ada orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, tetapi aku lebih
heran lagi ada orang yang membeli dunia dengan agama, yang lebih
mengherankan lagi dari keduanya adalah orang yang menjual agamanya
dengan dunia, yang lain adalah orang yang menghutangkan agama
itu--inilah yang lebih mengherankan lagi.
Dalam
kaitan ini Rumi menyatakan: pertengkaran orang dewasa itu sama tidak
berartinya dengan pertengkaran dunia kanak-kanak. Bahkan beliau
menyatakan juga bahwa induk dari segala berhala adalah apa yang
disebut: aku atau kami. Adalagi syair Jawa yang menyatakan bahwa b
anyak orang yang tahu tentang dalil-dalil tetapi suka mengkafirkan
pihak lain, sementara kafirnya diri sendiri tidak sempat digubris,
kafirnya diri sendiri ini bentuknya adalah kotornya hati dan akalnya
itu. Bukankah dalam realitas sosial sering terdengar: aku harus
menang dan harus kuasa, hal ini menjadi ruh terjadinya konflik
berkepanjangan, rumit dan jlimet itu. Bukankah dalam banyak kasus
bentrok itu bagian dari pertentangan yang saling mencari klaim: kami
harus menang dan harus kuasa, hal ini menjadi pembangkit peperangan
yang tidak lucu itu.
Dimanakah
"kita" dalam pengertian kebersamaan itu? Kita dalam
komitmen sama-sama makhluk Sang Khalik, yang harus saling mengenal
antar pribadi, suku dan bangsa itu. Kita dalam pengertian sebagai
keluarga Tuhan semua, sebagaimana firmanNya itu: semua makhluk adalah
keluargaKu. Ternyata aku lihat semua bentrok itu berada dalam lapisan
buih--kalau diibaratkan samodra, dan buih itu semua berada di
pinggir-pinggir pantai, di manapun--kata Rumi--kalau di pinggir
pantai yang akan ditemukan adalah penjajah demi penjajah-- yang hanya
berbicara kuasa bukan cinta.
Dalam
sunyi di kedalaman semesta ternyata masih aku temukan butiran
mutiara-mutiara yang tak terhingga banyaknya, dari sinilah aku selalu
yakin terhadap cinta itu selalu ada dan abadi. Dan buih yang terapung
itu ternyata akan lenyap lalu menjadi butiran-butiran pasir di
pinggir pantai yang indah juga--di tanganNya. Cinta akan mensucikan
segala yang najis, cinta akan mendekatkan segala yang jauh, cinta
akan mendamaikan segala yang konflik, cinta akan mewangikan segala
yang busuk, cinta akan meringankan segala yang berat, cinta akan
menyembuhkan segala yang sakit, cinta akan memaafkan segala yang
salah, cinta akan meng-emaskan segala yang tembaga, cinta akan
menyambung segala yang putus, cinta akan memudahkan segala yang
sulit, cinta akan memaniskan segala yang pahit, cinta akan
menggembirakan segala yang menyusahkan, cinta akan mensenyumkan
segala tangisan, cinta akan mensahayakan segala raja, cinta akan,
cinta akan, cinta akan....
Kawan-kawan,
sudah saatnya segala bentuk kekerasan dan pertentangan harus
dihentikan, lebih-lebih kekerasan bernuansa agama dengan cahaya
Cinta, di tengah puing peradaban jangan putus asa karena selalu ada
cahaya, di tengah porandanya sejarah jangan putus harapan karena
selalu ada harapan itu sendiri, abadi....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.