BUKU CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, buku bagiku amat sangat berarti dan penting, walau sudah
ada sarana canggih notebook atau komputer serta laptop itu, namun
buku memiliki romantika tersendiri--saat membacanya. Aneh, bahkan
apa-apa yang aku ambil dari sarana canggih itu aku bukukan menjadi
perpustakaan pribadi. Sejak kecil aku melihat ayahku memilki
se-almari buku, walau saat itu aku tidak faham namun aku senang
buka-buka buku dengan berbagai judul, dengan ejaan lama dan kertasnya
banyak mudah rapuh, berwarna kekuningan.
Setelah
aku masuk Madrasah Diniyah Awaliyah sore hari, paginya Sekolah Dasar
di kampung, lagi-lagi aku bertemu buku-buku, kini kusadari bahwa pagi
itu mengajarkan perenungan agar mecerdaskan akal, sementara sore hari
mengajarkan "mengenang" agar mencerdaskan hati, yang
berujung kepada pengenalan akan cinta. Sampai pada saat malam-malam
tidur di musholla [langgar, surau] berbantal "dongkal"
[bantal dari bahan kayu randu] setelah lelah belajar dan mengaji
serta bermain dengan kawan-kawan, semua ini mengajarkan akan
kesederhanaan dan keakraban yang sangat perpengaruh sampai saat ini,
sangat indah, sangat indah, sangat indah.
Dari
sinilah aku karib dengan buku-buku yang lain, maksudnya ada buku yang
tertulis dan ada buku yang tidak tertulis, yakni "kauniyah"
dan "qauliyah" itu. Aku ingat ketika berada di sawah: mulai
dari mengirim nasi bungkus daun jati dengan angkringan bambu, ikut
naik bajak dengan ditarik dua kerbau dan didendangkan kidung-kidung
Jawa oleh tukang bajaknya [luku], sampai mikul padi untingan pakai
tongkat bambu yang mengkilat karena seringnya dipakai, bermesraan
dengan burung-burung manyar yang datang dan pergi sehingga membikin
pelatihan suaraku melengking-lengking--saat hampir panen tiba padi
menguning, sampai kembali menanam lagi, lagi, dan lagi--yang paling
nikmat makan di "galengan" sawah sambil bersama Ibu-ibu
Bapak-Bapak dengan "muluk" [pakai tangan langsung] dan
membersihkan tangan pada bekas telapak kerbau yang airnya bening itu,
indah, indah, indah.
Pada
sisi yang lain aku teringat: puji-pujian di Mushalla--misalnya: biyen
aku ora ono/yen saiki maleh ono/besok bakal ora ono/sowan marang sing
Kuwoso, Biyen soko ngendi/saiki ono ngendi/besok maring ngendi/Tan
liyo bakale mati, buku-buku baik di Sekolah dasar dan sekolah
Madrasah Diniyyah Awaliyah yang aku sampuli dengan kertas semen
coklat itu dengan pojoknya aku kasih nomor-nomor yang aku potongkan
dari kertas tanggalan sesuai dengan mata pelajarannya, bahkan karena
hasratku mencari sering aku ambil potongan-potongan koran yang
terbuang lalu aku baca dan yang sangat bagus-- aku kliping, semuanya
indah.
Aku
teringat buku-buku: matematika, fisika, geguritan, bahasa Indonesia
dan pendidikan budi pekerti, nahwu, shorof, tajwid, akhlak, bacaan
Qur'an dan sebagainya yang aku songsong dengan segenap kegairahan
mencari itu. Aku teringat buku-buku berupa sosok Bapak Ibu guruku
yang senyumnya sampai hari ini masih terlihat di hatiku: Pak Wur, Bu
Nanik, Pak Sis, Pak Niswanto, Pak Suyut, Pak Adib, Pak Tain [Allahu
yarham], Pak Abdul Karim [Pak Mul], Pak Zaeni dan masih banyak lagi,
semuanya indah di hatiku.
Aku
teringat kawan-kawanku: Fauzan, Munadi, Siti Sudarsi, Sri
Wahyuningsing, Supar, Musta'in dan seterusnya. Dasar ini terbawa
sampai sekolah menengah pertama, menengah atas dan sampai kuliyah di
IAIN Walisongo Semarang Fakultas dakwah, sampai hari ini, sampai
detik ini, semua masih aku simpan bagai harta karun tersembunyi,
semuanya indah. Lintasanku saat itu: sekolah, madrasah, sawah dan
langgar.
Ada
lagi buku yang tidak akan kutemukan gantinya, dimana harus aku cari,
kemana harus aku temui, yakni Ayahku yang rapuh fisiknya karena kena
penyakit paru-paru basah, namun hasrat jiwanya bernyanyi di hatiku:
gairah mencari itu. Ayakku—Soetikno [Allahu yarham], seorang yang
ramah karena setiap yang melintas di jalan pasti beliau sapa dengan
sesuai logat dan "cengkok" suara mereka, suaranya indah
walau parau--beliau menimangku dalam kidung-kidung mocopatan. Adalagi
buku yang tak kuasa aku menulisnya kecuali dengan airmata, yakni
Ibuku--Hajjah Roekanah [Allahu yarhamhaa], cintanya yang telah
ditunaikan sepenuhnya kepadaku, air susunya yang telah menjadi darah
daging dan tulangku, do'a-do'anya yang telah bernyanyi di hatiku,
deritanya yang telah menjadi saksi bagiku, pengabdiannya yang telag
menjadi polesan indah hidupnya, yang sering menyembunyikan derita di
depan mataku, tetapi aku melihat mata indah itu sampai ke lubuk
hatinya, walau beliau sudah tiada tetapi di hatiku beliau menjadi
buku cinta yang tiada akan usai aku baca dan aku selami selama
hidupku, aku didera rasa malu karena tak mampu membalasnya itu,
nampak jelas sampai detik ini senyumnya yang membungkus derita itu,
dalam relung hatiku ini aku menjerit: wahai Ibu, dibalik tabir dunia
ini, datanglah walau hanya dalam mimpi, menemani hari-hari anak yang
pernah kau lahirkan ini, agar seperti dirimu: begitu megah membungkus
derita dengan senyuman yang indah itu, aku ingin menjadi nyanyian
hatimu....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.