ASONGAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono -


Sedulurku tercinta, orang ini aku kenal di traffic light kota Wali Demak, aku kenal pekerjaannya, jualan kacang godok di bangjo itu. Dengan caping kropak, tubuh tegap dan hitam legam kulitnya, senyumnya yang ikhlas ia berjihad menjemput rejeki Allah. Siapapun bisa menemui dia di tempat itu, setiap hari kerjanya yang rutin itu untuk menyuapi anak istrinya dengan halalan mubarokan thayyiban.
Saat mobilku berhenti di bangjo itu, aku membeli senyumnya yang bening itu dengan mengulurkan uang selembar lima ribuan, namun ia serahkan segepok kacang godok bungkusan plastik bening sambil uluk salam padaku, dan menyebut bungkusku--ini hadiah untuk pak Yai dan mohon berkahnya, katanya. Tentu aku amini sedalam hatiku, semoga Allah memberkahi orang sederhana namun rajin bekerja ini, sepertinya mengenalku.
Ternyata benar adanya, pada saat aku mengisi pengajian di daerah kota Wali itu, aku disambutnya dengan senyum yang sama saat aku membeli kacang godoknya, malah memintaku untuk mampir di rumahnya karena lokasinya tidak jauh dari tempat pengajian itu. Kali ini, tentu lain penampilannya, peci putih, baju koko putih juga, sarung hitam, serban merah melintang di pundaknya. Dan memperkenalkan bahwa dia di pengajian itu sebagai penabuh rebana yang mendampingiku. Soal permintaanya untuk mampir itu aku iyakan, seperti biasanya usai pengajian aku buat melek2 dengan silaturrahmi kenalan-kenalan.
Begitu usai pengajian dan ramah-tamah, aku pamit dan dipandunya menuju rumahnya. Betapa gembira dia begitu aku masuk rumah yang sederhana itu. Istrinya keluar dengan menyuguhkan kopi dan dua anaknya sudah bobok. Dengan semangat tukang asong ini bercerita, dan yang diceritakan ternyata dia simak apa yang pernah aku sampaikan tentang bekerja dengan cara keikhlasan, produknya akan menyenangkan hati manusia.
Teori ini dia pakai dalam menabuh rebana dengan ikhlas, ternyata tidak sekedar menyenangkan hati banyak orang, tetapi Rasulullah sendiri berkenan. Saat dia menabuh rebana pada suatu acara, demikian lama kasidah-kasidah itu didendangkan, yang ia tatap bukan rebana tetapi Rasulullah berkenan itu. Dia menabuh rebana sambil memejamkan mata, tidak tahunya ada seorang yang melihat tangannya berdarah-darah, namun tukang asongan itu sendiri tidak merasa pendarahan itu, ia asyik dan larut dalam menatap Rasulullah saw. Begitu usai acara, katanya, seseorang yang melihat pendarahan tangannya itulah yang menghadiainya bisa menunaikan ibadah haji, dan tentu yang menjadikan dia bisa berziarah ke pusara kekasih Allah itu, Rasulullah saw, Nabi yang membawa agama cinta itu,,,
Kawan, aku mendengar dan melihat, airmatanya mengucur deras, tapi bibirnya mengguratkan senyum,,, Aku pamit menjelang Shubuh, dan membawa oleh2, senyumnya yang bening, sama beningnya saat aku lihat di bangjo itu,,,
Sedulurku tercinta, orang ini aku kenal di traffic light kota Wali Demak, aku kenal pekerjaannya, jualan kacang godok di bangjo itu. Dengan caping kropak, tubuh tegap dan hitam legam kulitnya, senyumnya yang ikhlas ia berjihad menjemput rejeki Allah. Siapapun bisa menemui dia di tempat itu, setiap hari kerjanya yang rutin itu untuk menyuapi anak istrinya dengan halalan mubarokan thayyiban.
Saat mobilku berhenti di bangjo itu, aku membeli senyumnya yang bening itu dengan mengulurkan uang selembar lima ribuan, namun ia serahkan segepok kacang godok bungkusan plastik bening sambil uluk salam padaku, dan menyebut bungkusku--ini hadiah untuk pak Yai dan mohon berkahnya, katanya. Tentu aku amini sedalam hatiku, semoga Allah memberkahi orang sederhana namun rajin bekerja ini, sepertinya mengenalku.
Ternyata benar adanya, pada saat aku mengisi pengajian di daerah kota Wali itu, aku disambutnya dengan senyum yang sama saat aku membeli kacang godoknya, malah memintaku untuk mampir di rumahnya karena lokasinya tidak jauh dari tempat pengajian itu. Kali ini, tentu lain penampilannya, peci putih, baju koko putih juga, sarung hitam, serban merah melintang di pundaknya. Dan memperkenalkan bahwa dia di pengajian itu sebagai penabuh rebana yang mendampingiku. Soal permintaanya untuk mampir itu aku iyakan, seperti biasanya usai pengajian aku buat melek2 dengan silaturrahmi kenalan-kenalan.
Begitu usai pengajian dan ramah-tamah, aku pamit dan dipandunya menuju rumahnya. Betapa gembira dia begitu aku masuk rumah yang sederhana itu. Istrinya keluar dengan menyuguhkan kopi dan dua anaknya sudah bobok. Dengan semangat tukang asong ini bercerita, dan yang diceritakan ternyata dia simak apa yang pernah aku sampaikan tentang bekerja dengan cara keikhlasan, produknya akan menyenangkan hati manusia.
Teori ini dia pakai dalam menabuh rebana dengan ikhlas, ternyata tidak sekedar menyenangkan hati banyak orang, tetapi Rasulullah sendiri berkenan. Saat dia menabuh rebana pada suatu acara, demikian lama kasidah-kasidah itu didendangkan, yang ia tatap bukan rebana tetapi Rasulullah berkenan itu. Dia menabuh rebana sambil memejamkan mata, tidak tahunya ada seorang yang melihat tangannya berdarah-darah, namun tukang asongan itu sendiri tidak merasa pendarahan itu, ia asyik dan larut dalam menatap Rasulullah saw. Begitu usai acara, katanya, seseorang yang melihat pendarahan tangannya itulah yang menghadiainya bisa menunaikan ibadah haji, dan tentu yang menjadikan dia bisa berziarah ke pusara kekasih Allah itu, Rasulullah saw, Nabi yang membawa agama cinta itu,,,
Kawan, aku mendengar dan melihat, airmatanya mengucur deras, tapi bibirnya mengguratkan senyum,,, Aku pamit menjelang Shubuh, dan membawa oleh2, senyumnya yang bening, sama beningnya saat aku lihat di bangjo itu,,,



catatan :

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.

Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel