Kebebasan Pers Era SBY-Kalla
aspek kepentingan tunggal. Terutama, untuk apa kebebasan pers itu Atau, kebebasan pers dari siapa
Setiap tinjauan kebebasan pers, harus ditinjau dari aneka kepentingan (kepentingan yang jamak). Cara tinjauan demikian,
diharap dapat menghindarkan implementasi kebebasan pers, seolah tanpa rambu, tanpa batas, di samping bersifat
mutlak.
Tinjauan kebebasan pers pada kurun waktu (termasuk era pemerintahan) tertentu, minimal harus beranjak dari kedua
pertanyaan tadi. Kedua pertanyaan itu akan memotivasi semangat dan tekad membangun kebebasan pers, sebagai
kebebasan manusia yang dilandasi ranah pertanggungjawaban kemanusiaan. Bukan sebagai bentuk penjabaran
kebebasan tanpa rambu, tanpa batas, serta bersifat to be or not to be (ada atau tidak, harus ada; bisa atau tidak, harus
bisa).
Pertanyaan mendasar pertama adalah untuk apa sesungguhnya kebebasan pers? Apakah untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan, sebagaimana landasan idealisme dan profesionalitas media massa yang bersifat universal? Ataukah,
kebebasan pers ditafsirkan sebagai prasyarat mutlak cara berpikir dan cara bergerak aktualisasi kebebasan (manusia),
yang bersifat tan kena ora (mutlak, tidak bisa ditawar).
Jika kita menafsirkan kebebasan pers dalam alur berpikir pertama, kebebasan pers memang pantas, dan seharusnya
diperjuangkan serta ditegakkan semua pihak. Baik oleh pengelola media massa, maupun oleh publik media (termasuk
rakyat dan pemerintah).
Tetapi, sebaliknya, kalau penafsiran kebebasan pers terjebak kepentingan yang terkandung dalam pertanyaan kedua,
justru bisa menimbulkan aneka kendala buat pengelola dan publiknya. Ini disebabkan kebebasan pers seakan kebal
(resisten) atas segala bentuk intervensi, baik hukum maupun moral publik
Pemerintahan Silam
Pertanyaan mendasar yang kedua, yaitu kebebasan siapa, harus dijawab dengan benar. Sebab, aktualisasi kebebasan
pers menghadirkan pertanyaan, kebebasan pers itu kebebasan dari (kepentingan) siapa? Apakah kebebasan pers adalah
kebebasan insan pers atau pengelola media massa semata?
Atau juga kebebasan publik media dalam memanfaatkan jasa pers, khususnya guna memuasi kepentingan sendiri
(kepentingan konsumen informasi publik), terlepas dari kepentingan produsen informasi (kepentingan pengelola media
massa)?
Berangkat dari muara pemahaman di atas, tidak adil kalau kita menilai pers Indonesia tidak mengenal kebebasan pers di
era pemerintahan silam. Pemerintahan Indonesia, mulai di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie,
Gus Dur, sampai Megawati, memberi jaminan kebebasan pers. Hanya saja, pemaknaan aktualisasi kebebasan pers di
setiap kurun waktu era pemerintahan, bukan hanya berlainan, tetapi acapkali juga bertentangan.
Hemat penulis, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat
status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik
(termasuk pers).
Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya)
pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers
Kebebasan pers Indonesia di pemerintahan Habibie, Gus Dur dan Megawati, nyaris tidak menunjukkan perbedaan aktual.
Aktualisasi dan fluktuasi kebebasan pers pada ketiga era pemerintahan terakhir dimaksud, lebih ditentukan
perkembangan kepentingan pemerintahan (nasional atau daerah), ketimbang kepentingan insan pers dan masyarakat.
Berbeda dengan kebebasan pers di era Soekarno dan Soeharto yang bias pemerintah (mutlak memprioritaskan
kepentingan pemerintah), sehingga mengesankan pers menjadi budak pemerintah, atau pers tidak beda dengan buletin
negara; di bawah Habibie, Gus Dur dan Megawati, kebebasan pers kita lain lagi. Sekalipun performa pers Indonesia
dalam pemerintahan ketiga Presiden RI disebut terakhir bukan lagi corong negara, tetapi - dalam pengertian relatif -
kebebasan pers Indonesia berada dalam kendali (samar) pemerintah.
Penilaian demikian eksis, terutama lantaran berbagai delik pers pada kurun waktu tersebut, memosisikan KUHP lebih
sebagai landasan hukum penyelesaian kasus konflik pers dengan pihak lain. Padahal, semua orang tahu, filosofi yang
melandasi produk hukum buatan kolonial itu, adalah untuk memperkuat fungsi pemerintahan yang berkuasa. Itu
sebabnya, mengapa kendati negara dan bangsa kita sudah memiliki UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers (biasa disebut
UU Pers), lembaga pengadilan di negeri ini acapkali lebih suka menggunakan KUHP dibanding UU Pers.
Era SBY-Kalla
Tidak fair memang, kalau kita menilai di bawah pemerintahan Habibie, Gus Dur dan Megawati, pers Indonesia tidak
mengenal kebebasan. Sebab, justru pada pemerintahan Habibie, Gus Dur dan Mega, kebebasan pers sering dinilai
terlampau maju (kebablasen).
Perkara selama ketiga era pemerintahan terjadi pemberangusan kebebasan pers secara amat halus, (dilakukan aparat
negara dan tekanan publik), itu persoalan klasik, yang terjadi, dan nyaris selalu eksis, di bawah (rezim) di banyak negara
di planet bumi ini.
Sesuatu yang tidak terelak, sejak pemerintahan Soekarno sampai Megawati, adalah langkanya momentum pers
Indonesia berkebebasan mutlak. Negatifkah kecenderungan dan fakta tersebut? Tidak, karena kebebasan pers bukanlah
kebebasan yang monopolistik milik media massa (absolutely right). Di mana pers bebas sebebas-bebasnya, pers bebas
tanpa batas apa pun, dan oleh siapa pun.
Kecenderungan dan fakta disebut terakhir tidak pernah eksis di negeri ini. Kebebasan pers Indonesia tanpa rambu, bebas
dari segala bentuk kontrol hukum, moral publik dan landasan nilai-nilai luhur (terutama hak asasi manusia) dan lain-lain,
tidak pernah eksis di masa pemerintahan silam.
Kebebasan pers macam ini, mutlak perlu ditegakkan di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Di bawah SBY-Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers
yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran
pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta
kekuasaan media massa (the power of the press).
Di bawah SBY-Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan
pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara
(pemerintah), atau kepentingan rakyat. Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi
kebebasan pers nasional kita, sedikitnya lima tahun mendatang, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik
kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).
Sudut pandang kepentingan ini, dilandasi kajian komprehensif atas keberadaan, fungsi dan peranan pers, sebagai
landasan ideal dan praksis kebebasan pers, yang bermuara dari pemahaman teori peluru (the bullet theory) yang dikenal
dalam ilmu komunikasi. Teori itu menguraikan kegiatan komunikasi, termasuk pers, berpusat komunikator.
Ibarat peluru yang dibidikkan penembak (komunikator, media massa), akan tepat kena sasaran atau tidak, tergantung
kepada kecakapan penembaknya. Penembak jitu, biasanya tidak memubazirkan peluru ke arah atau sasaran lain, kecuali
ke titik bidik yang dituju. Karenanya, akan sangat sulit bagi sasaran tembak untuk mengelak atau menghindarkan peluru
yang melesat cepat dari moncong senapan sang penembak.
Demikian pula dengan pers. Kecakapan pengelola media massa, merupakan salah satu prasyarat tercapainya tujuan
penerbitan media cetak, dan pengudaraan siaran radio serta televisi.
Prasyarat lain seperti bagaimana prosesnya digarap dengan baik dan benar, di samping kemapanan publik, serta
prediksi pengaruh pers, memang juga menentukan besar-kecilnya, dan signifikan tidaknya pengaruh media massa,
walau kadar signifikasinya antartarget publik media, bisa berbeda-beda.
Arogansi Pers
Ketidakberdayaan publik, harus diapresiasi sebaik mungkin oleh setiap pengelola pers, khususnya guna membangun
dan mengaktualisasikan kebebasan pers Indonesia, di bawah pemerintahan SBY-Kalla. Sebab, jika pengelola pers
bersikap acuh tak acuh, bahkan melecehkan inferioritas publik atas keperkasaan media massa, akan menimbulkan
penolakan, bahkan juga perlawanan publik terhadap media massa
Karenanya, pemerintahan SBY-Kalla, disamping pengelola media, harus berupaya mencegah agenda tersembunyi pers.
Isu publik dan materi pers yang banyak disembunyikan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan SBY-Kalla, atau
dilakukan pengelola media massa sendiri (sadar atau tidak), dapat membentuk kekecewaan publik, baik terhadap
pemerintah maupun pers nasional kita sendiri.
Karenanya, selama pemerintahan mendatang, pengelola media sepatutnya tidak mengapresiasi kebebasan pers
sebagai penjabatan konkret keperkasaan pers, yang tan kena ora tadi. Karenanya, para insan pers tidak boleh
menganggap lantaran publik media mustahil mampu mengelak dari "peluru" pers, membuat mereka (awak pers) boleh
seenak hati memberondongkan isi senapannya (informasi pers) kepada publik.
Rasionalitas diuraikan di atas, mendorong seharusnya penerapan teori peluru secara ekstra hati-hati oleh setiap
pengelola media cetak dan elektronika (radio, televisi), di era pemerintahan SBY-Kalla. Dalam hal ini, segenap pengelola
media harus semaksimal atau seoptimal mungkin mencegah arogansi pers, yang dimungkinkan oleh kekuatan dan
keperkasaan media massa pada umumnya.
Dalam konteks kebebasan pers (dengan ideal di atas), pemerintah SBY-Kalla perlu memiliki antibodi yang memadai.
Untuk itu, pemerintah tidak boleh berperan di depan (mendahului publik), dalam upaya pengawasan kebebasan pers.
Biarlah kegiatan media watch , termasuk pemantauan kebebasan pers dilakukan oleh masyarakat, tanpa melibatkan
peran pemerintah. Kecuali jika terjadi konflik (manajemen konflik), sebagai akibat kebebasan pers.
Pemerintah mendatang dituntut untuk mampu mencegah polusi budaya media, imperialisme media, kejahatan media dan
lain-lain, tanpa menghadirkan state body yang ekstra dominan menentukan corak pers. Superioritas peran negara,
sebagaimana juga superioritas fungsi pers, merupakan bagian dari harapan publik, yang mesti dicegah perwujudannya di
era kepemimpinan SBY-Kalla, tanpa harus berarti terjadinya pengekangan kebebasan pers di negeri ini. (18)
Oleh: Novel Ali, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip; Koordinator Perisai Media Watch.
Sumber: Suara Merdeka