Ibadah Minimalis
Bulan Agustus yang akan datang insya Allah bangsa Indonesia berusia 67 tahun. Bagaimana keadaan bangsa Indonesia sekarang setelah merdeka? Semua orang akan menjawab serentak: terpuruk. Laporan akhir 2011 menyebutkan, apabila mengikuti indikator Bank Dunia yang menyatakan bahwa orang yang miskin adalah orang yang penghasilanya per hari minus dua dolar AS (Rp 18 ribu), maka di Indonesia sekarang terdapat 117 juta orang miskin.
Negara tetangga yang usianya lebih muda dari Indonesia sudah menjadi negara majikan. Sementara Indonesia masih menjadi negara pekerja. Kita terkadang bertanya, apa kesalahan kita dalam mengurus ekonomi Indonesia. Apakah para ahli ekonomi tidak pandai atau karena masalah lain.
Kendati bukan merupakan sebab atas terpuruknya bangsa Indonesia, namun hal-hal berikut ini dapat memberikan gambaran yang wajar apabila bangsa Indonesia masih terpuruk sampai sekarang. Wajar apabila kita masih terpuruk karena dalam beribadah kita juga lebih menyukai ibadah yang pahalanya minimalis.
Pertama, ketika ada dua macam ibadah yang pekerjaannya sama, yang satu akan mendapatkan pahala 27 derajat dan yang satu lagi akan mendapatkan pahala satu derajat apabila ibadah itu baik. Ternyata, kita lebih banyak yang memilih pahala satu derajat daripada 27 derajat. Contohnya, shalat berjamaah dan sendirian. Silakan perhatikan di mana-mana umat Islam Indonesia berlomba-lomba besar-besaran masjid. Namun, dalam waktu yang sama mereka juga berlomba kosong-kosongan masjid.
Kedua, ada ibadah yang ringan untuk dikerjakan namun pahalanya luar biasa, yaitu menyantuni anak yatim. Nabi SAW bersabda, “Saya dan penyantun anak yatim seperti dua jari ini di Surga.” Nabi SAW menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah. Di sisi lain ada ibadah yang sangat berat dilakukan karena yang bersangkutan harus memiliki persiapan uang yang cukup, mental, dan fisik yang prima, dan balasannya surga, yaitu haji.
Perhatikan kita umat Islam Indonesia lebih banyak memilih yang mana? Menyantuni anak yatim atau berhaji ulang. Tidak dapat dimungkiri ternyata kita lebih banyak memilih berhaji ulang daripada menyantuni anak yatim.
Ketiga, ada ibadah yang sangat ringan dikerjakan, namun Nabi SAW akan mendoakan empat kali bagi yang melakukannya agar ia diberi rahmat oleh Allah SWT, yakni menggundul kepala bagi laki-laki ketika tahallul seusai berihram haji atau umrah. Di sisi lain, Nabi SAW hanya mendoakan satu rahmat bagi yang memendekkan rambut tidak menggundulnya ketika tahallul. Tapi, mayoritas jamaah haji Indonesia memilih memendekkan rambutnya dan tidak menggundulnya.
Keempat, Nabi SAW tidak pernah membatasi jumlah rakaat untuk Qiyam Ramadhan (tarawih). Tapi kita umat Islam Indonesia lebih banyak memilih Qiyam Ramadhan yang jumlah rakaatnya minimalis.
Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa dalam beribadah kita lebih memilih ibadah yang pahalanya minimalis daripada ibadah yang pahalanya maksimalis. Karena itu, kita tidak perlu menyalahkan orang lain apabila kita juga masih menjadi bangsa yang ekonominya minimalis. Dan, tampaknya kita perlu melakukan reorientasi ibadah, agar pahalanya maksimalis.