WARISAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, pagi ini aku menerima tamu, hubungan dia denganku adalah Om Mas'an, ia anak seorang orator ulung di zamannya, K.H. Amin Dimyati [meninggal usia 72 tahun], aku memanggilnya mBah Amin, dikenal pada publik namanya Jimin [Kaji Amin], pertalian denganku sebagai kakek.

Sepanjang aku mengikuti perjalanan melayani masyarakat, terutama dalam berdakwah atau pun kesehariannya, aku memperoleh warisan spirit atau hasrat yang menyala, maka di mataku beliau selalu nampak muda walau usianya sudah tua itu. Kalau boleh ingin tahu, aku bisa cas-cis cus ini percikan cinta dari beliau itu, dimana tutur bahasa, gaya ketika berada di tengah acara pengajian, termasuk sopan santun dalam hubungan dengan siapa pun, sosok yang rilek namun dalam dirinya memancar kesungguhan yang menggugah setiap jiwa.

Salah satu pesan dari beliau manakala bertamu kepada orang-mulia, maka bila duduk lesehan maka dudukku diperintahkan tahiyat awal atau tahiyat akhir itu, duduk yang melambangkan kerendahan hati. Setiap perjalanan didikmati dengan penuh keintiman waktu, misalnya dengan berdendang syair, berkisah dalam banyak hal yang nuansanya anekdot sufistik, tadarrus ayat-ayat Qur'an, selebihnya adalah istirahat di mobil [Colt T].

Kemudian satu hal yang aku sebut warisan spirit adalah saat beliau itu berada di panggung atau mimbar pengajian, dimana dalam usianya yang sudah sepuh, sering batuk-batuk, dan kadang-kadang berangkat dalam keadaan sakit, namun begitu mulai pengajian hal-hal yang aku sebut derita itu musnah, aku melihat beliau sehat dan suaranya bagai anak muda yang penuh gelora, tanpa meninggalkan humor-homor segar yang filosofis itu.

Yang lebih terkesan adalah, saat beliau sakit dan dilarang berangkat mengisi pengajian karena menghawatirkan kesehatan beliau, Ibu Nyai melarang sambil menangis, dan beliau malah marah dengan mengatakan: Setan kamu, ngaji kok kau halangi, dengan gandrung [cinta] sakit bisa hilang dan sembuh, tahu nggak? Adalagi pesan dari beliau: kalau kamu memberikan sesuatu kepada orang lain, berikanlah yang paling kau sukai. Persis saat beliau mau meninggal, semua sudah dibagikan kepada anak cucunya, bahkan pakaian pun semua dihadiahkan kepada siapa yang beliau kehendaki, sehingga pas saat meninggal yang tersisa hanya yang beliau pakai itu.

Perawakannya memang kecil, namun cita-citanya besar, dari dalam dirinya ada semacam titik yang berkilau, selalu memendarkan percikan kehidupan, melalui cintanya aku melihat daya tahan kehidupan, semakin kukuh, semakin berkilau itu. Ada semacam api dari cinta, dan selalu belajar, belajar dan belajar bagaimana mencahayai cahaya dengan api cinta itu, sehingga mengikuti atau dekat dengan beliau aku terbawa dalam kedamaian, bahkan di tengah ada masalah sekalipun.

Cinta yang beliau tampilkan adalah air kehidupan yang menumbuhkan taman dalam hatiku, walau beliau juga mengajarkan cinta itu juga pedang yang tajam, dimana aku dituntut belajar seni menjadi pecinta dan berhasrat dalam mencinta, untuk merangkul siapa pun yang mencintai Allah, juga mencintai barang yang mendekatkan cinta ke Allah, sampai aku harus bisa mencium wewangian akhlak yang akan mengantarkan ke gerbang kemuliaan hidup dunia akhirat ini.

Lagi-lagi sebelum aku kenal Rumi, aku ditunjukkan beliau makna cinta yang menjadi harta karun dalam hidupku, karena cinta duri menjadi mawar, karena cinta cuka menjadi anggur segar, karena cinta keuntungan menjadi mahkota penawar, karena cinta kemalangan menjelma keberuntungan, karena cinta rumah penjara tampak bagaikan kedai mawar, karena cinta tumpukan debu kelihatan seperti taman, karena cinta api yang berkobar-kobar jadi cahaya yang menggembirakan, karena cinta "syetan" bisa berubah menjadi "bidadari", karena cinta batu yang keras menjadi lembut bagaikan mentega, karena cinta duka menjadi riang gembira, karena cinta "hantu" berubah menjadi "malaikat", karena cinta singa tak menakutkan seperti tikus, karena cinta sakit jadi sehat, karena cinta amarah dan dendam berubah menjadi keramah tamahan.

Kesaksian ini bagiku adalah warisan yang mahal, misalnya pernah beliau itu diundang di daerah Tuban, karena mBah Amin ini dikenal keikhlasannya maka orang Tuban ini niat menguji kepada Kakekku itu, menghadiri acara sampai lima kali dengan jarak tempuh jaman dulu yang amat jauh itu, dari Purwodadi ke Tuban, pulang tanpa dikasih transpot sekalipun. mBah Amin ini tanpa mengeluarkan statemen sepatah pun soal ini, biasa-biasa saja, tanpa beban, dan tetap berangkat menemui jama'ah yang datang di Tuban itu. Baru untuk yang ke enam kalinya [karena pengajian rutin tahunan], orang yang niatnya menguji itu mohon maaf sambil menangis sesenggukan kepada beliau dan menyerahkan transpot dari sejak keberangkatannya yang pertama itu, Yai tetap biasa-biasa saja dan ditanggapi dengan guyon...

Kawan-kawan, inilah yang aku sebut warisan cinta itu, dimana warisan ini aku bawa sampai hari ini, kehadiranku dimana dan kapan, aku jauhkan dari kalkulasi manajemen yang profesional itu, dengan tanpa aku memperolok siapa pun yang memakai menejemen profesional. Amalku amalku, amal mereka ya amal mereka, semacam bagimu agamamu bagiku agamaku itu. Sosok seperti baliau bagiku adalah kidung cinta yang mengalun, bagai dendang Gibran: Hakekat cinta adalah rintihan panjang yang dikeluhkan oleh lautan perasaan kasih sayang, cinta adalah cucuran air mata kepedihan langit pikiran, ia adalah senyuman ceria kebun-kebun bunga jiwa, cinta adalah sarana untuk memahami dua jiwa, ia bukan kata-kata yang datang dari bibir dan lidah yang membawa hati bersama-sama, tidak ada yang lebih besar dan suci daripada apa yang diucapkan mulut, ia memancarkan jiwa dan membisikkan hati kita, membawa bersama-sama, cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia, karena cinta membangkitkan semangat yang hukum-hukum kemanusiaan dan gejala-gejala alami pun tak bisa mengubah perjalanannya, cinta adalah misteri suci...

Salam Hangat dari Rumah Cinta....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel