TUKANG CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ada sebuah Masjid yang sedang dibangun oleh seorang perawan tua, namun kecantikannya melebihi perawan muda, kalau boleh dibahasakan orang itu ditaburi warna fajar pada senjanya. Sebaliknya banyak perawan yang ciamik rupanya, namun karena miskin hasrat dan minat, maka bisa dibahasakan orang semacam ini ditaburi warna senja pada fajar usianya.

Kecantikan perempuan perawan tua ini bukan karena make up--dimata seorang tukang bangunan--yang bekerja dengan ketelatenan dan semangat luar biasa sehingga di mata perawan tua ini, masjid nampak megah dan sangat indah, terasa nyaman disimpuhi untuk beribadah, walau sekedar untuk i'tikaf. Pesona kecantikan ini nampak--di mata tukang yang masih jejaka ini--seperti bukan makhluk ciptaan biasa, kecantikan yang nuansanya sebuah misteri, alangkah indah kalau dia bisa mempersunting perempuan itu, bersanding di sisinya.

Perjaka ini amat gantheng, gagah namun di dadanya ada penyakit abadi seorang pecinta: nyeri kerinduan kepada orang yang dicintainya itu. Bukan melemahkan hidupnya, penyakit itu malah meletupkan tenaga yang tak terhingga, sehingga masjid itu hampir finising, dialah salah satu tukang kebanggaan perempuan perawan tua itu. Banyak perawan muda nan cantik menawarkan diri untuk dinikahinya, tetapi dengan kehalusan akhlak dia tidak bisa menerima.

Di puncak kenyerian rindunya, dia tidak berangkat bekerja melanjutkan bangunan masjid yang hampir rampung itu, dia sakit tetapi badannya sangat sehat wal 'afiat, tetapi sakit. Lalu perempuan dengan taburan fajar pada senja usianya itu, menayakan kepada salah seorang teman tukang yang sehat namun sakit itu. Temannya menjawab terus terang kepada perempuan natural look itu: mBak, sebenarnya tukang ini sehat tetapi sakit, sakitnya rindu kepadamu, malah ia pernah menggesa mungkinkah dirinya bisa bersanding denganmu, dalam arti menjadi suamimu.

Dengan serta merta perempuan cantik ini mendatangi rumah di sebuah dusun terpencil, karena ada kekhawatiran masjid tidak sempurna tanpa tangan tukang yang sehat namun sakit itu. Di rumah ia berteman dengan sunyi, tapi tidak sunyi hatinya: walau tidak berangkat kerja, wajah perempuan ini memenuhi ruang kalbunya. Bagitu ada suara uluk salam dari perempuan pujaannya ini, jantungnya berdegup kencang, rebahlah hatinya. Dilihat perempuan ini--setelah masuk--perjaka ini menatap dirinya secara aneh bin misterius, mulutnya terkatup sepertinya akan mengungkapkan sesuatu namun tidak mampu, bibirnya bergetar, luapan rindu tak mampu ditampung oleh lidah untuk membahasakan kegembiraan hatinya, pujaan itu datang ke rumahnya.

Bagai hati Bilal, tidak mampu melantunkan adzan di masjid Nabawi, sepeninggal Kanjeng Nabi, airmata kerinduan yang bicara. Sama dengan perjaka ini, dilihat perawan cantik tua ini: ia merunduk airmatanya muncrat. Wahai tukang yang membangun masjidku bukan dengan ototmu, tetapi dengan hatimu--suara perempuan lembut ini, aku tahu perasaan dan harapanmu, kini aku bebaskan dirimu bekerja, aku rasakan sempurna bangunan masjid itu, aku rela engkau menjadi suamiku, aku pasrahkan diriku nanti melayanimu seperti kepasrahan hidupmu melayaniku, membangun masjid indah itu, sekarang berangkatlah ke tembat sunyi untuk mendekat kepada Sang Pencita selama empat puluh hari, ini uang bekalnya.

Saat itu, indahnya pertemuan hanya sesaat, lalu harus berpisah lagi. Derita itu perjaka bayar segenap hatinya dengan suka cita, demi wajah yang penuh misteri itu. Setelah tiga puluh hari, perempuan pujaannya ini nyambangi (mendatangi) dia ditempat bersunyi ria. Perempuan ini melihat wajah tukang itu bercahaya, melebihi sebelumnya, kali ini yang jatuh hati tak terhingga malah perempuan ini berkata lembut: sayangku, aku tunggu engkau ke pelaminan bersanding denganku, tinggal sepuluh hari lagi, kita menjadi sepasang kekasih abadi.

Kalau dulu perjaka ini menangis karena didera oleh harapan yang tak mungkin sampai, kini airmatanya muncrat juga, dengan lembut berkata kepada perempuan yang sudah memanggil dirinya dengan kata sayangku itu: kekasihku, dengan segenap kejujuranku, kini harapan untuk bersanding itu buyar dalam hatiku, aku urungkan niatku menikahimu, maafkan aku sayang, ruang hatiku kini dipenuhi oleh rindu kepada dzat yang membikinmu sangat cantik dan indah di mataku, maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku….

Kawan-kawan, perempuan ini pulang dengan membawa kerelaan juga atas perpisahan yang sangat mengharukan ini, dia sadari Tuhan bermahkota di hati tukang yang bekerja dengan kalbunya….


catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel