TRIO CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ketika aku mewakili Cak Nun ke Hongkong--dua kali--maka sepertinya aku ditunjukkan pada kenyataan bahwa kemesraan yang kita miliki--di Indonesia, jawa khususnya--itu menjadi barang yang mahal harganya. Aku rasakan di Hongkong itu--tidak menutup kemungkinan di tempat lain--serba otomatis, serba teknis dan serba yang lain. Tetapi, ketika aku malam-malam keluyuran di kafe-kefe sepertinya menjadi bukti bahwa apa yang menjadi puncak peradaban lahiriyah manakala tidak diimbangi perkembangan batiniyah, maka akan melahirkan tragedi kemanusiaan.

Makanya tidak aneh, kalau di sini (Hongkong) sering terdengar bunuh diri dengan cara menjatuhkan dari apartemen--di sana adanya rumah susun. Sama halnya dengan tragedi di Amerika--aku tahu sendiri lewat televisi--banyak polisi menangkap dokter yang melakukan suntik mati (eutanasia), setelah mengalami kesepian itu.

Bila ternyata kebijakan negara ini hanya mengarah pada kiblat seperti itu peradabannya, maka tidak menutup kemungkinan anak cucu kita akan mengalami keterasingan yang sama, ujungnya akan mengalami tragedi yang sama--gampang bunuh diri itu. Bila hal ini dikaji maka tidak sulit melacaknya, karena gejala umum bisa dilihat di kampung-kampung kita. Misalnya petani membajaknya pakai traktor, gergaji pakai senso, menimba pakai pompa otomatis, masak pakai listrik, mencuci pakai mesin, menyambal pakai blender, nulis pakai komputer, mengeringkan rambut pakai hair driyer, kemana-mana pakai: motor, mobil dan pesawat.

Semua sarana ini pada intinya mempermudah cara manusia memenuhi kebutuhannya. Lihatlah lagi peralatan yang serba digital itu: tv, Ac, tape, dan lain sebagainya itu. Ada lagi yang mengarah kepada disfungsi pria wanita karena adanya penis elektrik dan vagina elekrtik--maaf sebelumnnya. Sampai pada hal-hal kecil misalnya sikat gigi elektrik, makanya kalau membersihkan gigi cukup mringis saja akan selesai bagai cucian mobil yang serba digital itu.

Produk otomatisasi peradaban ini buktinya menciptakan--disamping pengangguran--kesepian akut manusia yang aku sebut adanya gejala pringisisasi peradaban dan lholak-lholoisasi kemanusiaan. Padahal tidak ada obat lain tragedi ini kecuali kembali memanggil peranan agama dalam kehidupan ini. Cuma keberagamaan model apa yang bisa menjawab tantangan sejarah ini mnjadi agenda yang harus terus menerus direnungkan. Karena banyak yang menganalisa bahwa tokoh agama itu suka gelar-gelar panjang dan rasanya menjadi tidak enak, karena banyak yang dihinggapi perasaan yang berlebih-lebihan.

Agama itu sendiri disangka banyak pakar sebagai gejala penyakit jiwa, pesimisme dan sikap menyedihkan sebagai cerminan depresi--dengan bukti adanya emosi yang tidak stabil bagi pemeluknya. Namun tidak seluruh pakar sependapat dengan asumsi ini, justru banyak juga yang membuktikan bahwa beragama akan menjadikan lebih sehat mentalnya daripada orang-orang yang tidak beragama.

Lihatlah bila Kristen memandang kasih sebagai tonggak agamanya, Hindu Budha memandang dharma sebagai pondasi nilainya, Islam memandang silaturrahmi sebagai dimensi amat sangat penting ajarannya. Aku--sebagai muslim--merasa bahwa fakta yang tak terbantahkan tentang tragedi sejarah itu, bisa diatasi bersama-sama dengan pemeluk agama lain, yang memakai pola pendekatan holistik, dimana agama jangan sekedar larut didalam dominasi ritualitas, tetapi harus dibenturkan dengan bentuk pengentasan dengan tindakan yang sesuai kemampuannya masing-masing.

Aku yakin, selalu masih ada cahaya, selalu masih ada harapan atas terciptanya kebahagiaan spirutual, sebagai keseimbangan hdup--lahir dan batin--disamping material dan spiritual itu. Aku yakin setiap agama memiliki konsep seruan Sang Ruh, yang digambarkan oleh Jalaludin Rumi bagai seruling, dimana jiwa manusia melengking sebagi gemboran ridu untuk kembali ke rumpun bambu itu. Solusi tragedi dalam Islam bisa dilihat dalam tiga hal, yakni: iman, islam dan ikhsan.

Iman adalah dimesi kepercayaan lalu memunculkan ajaran teologi atau usuluddin. Islam merupakan aspek peraturan yang dikenal dengan nama syari'ah itu, kemudian dalam menghadapi benturan sejarah menjadi disiplin ilmu fikih dan usul fikih. Sedangkan Ihkhsan menekankan pada kualitas peribadatan dan kepribadian yang berlandaskan spiritualita tinggi, yang kemudia menjadi tasawuf itu, sehingga seseorang yang menyembah Tuhan seakan-akan melihatNya. Semua ini merupakan bentuk kasih sayang Tuhan, agar manusia bisa merasakan cercapan samudra CintaNya, inilah trio Cinta itu….



catatan :  

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel