TERKENANG CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, akal merenung lahirlah kecanggihan yang memudahkan manusia
memenuhi kebutuhan hidup ini, sementara hati mengenang maka lahirlah
Cinta yang dirasa dalam bentuk kegembiraan tiada tara dan ujungnya
memusnahkan derita, apapun bentuknya. Derita musnah,karena dalam
tatapan mata Cinta apa yang disebut derita sejauh neraka itu tujuan
Dia adalah membersihkan kotoran-kotoran kekasih-kekasihNya ini.
Sehingga kalau ada yang empati di dada,berarti di hati mereka Dia
bermahkota.
Pagi
ini aku duduk di sini [padahal sambil menulis], pada saat yang sama
[nah ini canggihnya hati] aku mengenang jutaan memori yang tak
mungkin aku goreskan dalam tulisan semua: aku mengenang Ayahku yang
sakit batuk berdarah yang dengan setia Ibuku memijiti dan mengelus
punggung beliau [saat itu aku umur kelas dua SD], aku mengenang
pagi-pagi Ibuku menggoreng tempe dan aku menunggu di depan pawon
[semacem tungku api] dengan saudara-saudaraku sampai sarapan pagi
bersama [oh] di pandang Ibuku dengan senyum yang indah dan puas [saat
itu ayahku sudah meninggal saat aku kelas dua SD], aku mengenang
bersama kakakku menunggu sawah [saat padi menguning] dari serbuan
burung-burung manyar pada suatu gubug yang sederhana namun eksotik
suasananya, aku mengenang bersepeda menuju sekolah ke kota [saat
sekolah SMP Muhammadiyah] yang berjarak enam kilometer dari desaku
dengan berkejar-kejaran dengan teman-teman saking asyiknya, aku
mengenang saat mandi di sungai bersama teman dengan akrobat-akrobat
bagai di kolam renang termahal sekalipun, tetapi tak bisa menandingi
menandingi keriangannya, aku mengenang "ngaji" di madrasah
dan di musholla [langgar, surau pangung] yang selingi berbagai jenis
permainan yang mewah [hehe, menurutku] semacam setinan; betengan;
bal-balan; kasti; setruman; pencakkan; dan sebagainya itu, aku
mengenang saat naksir seorang gadis desa [padahal masih kelas 6 SD]
tetapi ditolaknya dengan senyum jemberut tetapi di mataku malah
semakin nampak kecantikan wajahnya yang dibalut dengan kerudung
selendang [sampai saat ini istriku aku minta pakai kerudung
selendang], aku mengenang saat hujan turun di malam hari sayup-sayup
terdengar musik rebana merdu merayu yang diiringi nyanyian binatang
malam seperti gending kodok ngorek itu, aku mengenang semua
guru-guruku yang sampai hari ini [atas kebajikannya] aku sangat
dirundung malu karena tak mampu membalasnya kecuali dalam do'a-do'a
indahku padanya [semoga dosanya diampuni, amal baiknya diterima,
anak-anaknya sholeh sholehah sebagaimana telah mendidikku dulu], aku
mengenang semua kerabatku yang menjadikan keyatimanku seolah hilang
atas kehadiran cinta mereka itu menyekolahkanku, aku mengenang sebuah
momen kala di pesantren seorang Kiai yang lembut akhlaknya: namanya
K.H. Abdushshomad, ketika seluruh santri tak seorang pun memenuhi air
kolam dengan menimba [padahal aku lurahnya, ketua santri] maka pada
saat beliau [seperti biasa tahajjud abadi] tahu-tahu menimba air
sumur, aku terperanjat dan lari mendekatinya dengan ketawadlu'an
puncak dengan meminta biar aku sajalah yang mengerjakan memenuhi
kolam yang besar itu, ternyata sambil tetap menimba air beliau
[semoga Allah merahmatinya beserta seluruh keluarga beliau] menjawab
dengan lembut dan nafas terengah: Bud, untuk malam ini karena mungkin
santri-santri [bocah-bocah] kelelahan biarlah aku kerjakan dulu
sampai penuh, aku juga ingin cari ganjaran kok, aku ingin menjadi
hamba [kawulo] yang pandai bersyukur. Pada detik itulah aku
tersungkur di lutut beliau, aku tempelkan pipiku ke sarung beliau
yang basah kuyub itu, aku menangis tak habis-habisnya sampai
menjelang subuh tiba, lalu aku cium tangan beliau begitu usai dan
tangisku masih aku bawa kala berjama'ah subuh itu, sementara
teman-teman santriku tidak ada yang tahu drama agung hiduku ini....
Kawan-kawan,
aku yakin engkau semua memiliki memori-memori yang eksotik itu, yang
menjadi inspirasi abadi hidupmu sehingga engkau bisa memilki kekuatan
bertahan sampai hari ini, coba khabarkan kepadaku, khabarkan
kepadaku, khabarkan kepadaku, wangimu itu kawan. Aku rindu akan
wewangian hidupmu, apapun bentuknya itu dan aku yakin itu bersumber
dari percikan yang percikan itu berasal dari samudra cintaNya, dari
orang-orang yang mencintaiNya, dari perkara-perkara yang mendekatkan
cinta kepadaNya itu. Di sini aku menunggu, bersamaan aku mengenang
kebaikan siapapun kepadaku yang belum sempat terbalas itu: senyum
indah anak-anak, kesetiaan istri, kebaikan mertua, kasih sayang orang
tua, pertolongan teman-teman, sampai pada sepeda bututku yang sampai
hari ini teronggok di pojok rumah kampung yang pernah menemaniku di
hari-hari sulit itu. Termasuk wadah mangsi [tempat tinta dari gerusan
batu batre yang hitam itu] untuk menggoreskan makna-makna kitab
kuning, yang sampai hari ini menemaniku dalam sunyi muthola'ahku,
pada sepertiga malam itu....
Ya
Allah, ya Allah, ya Allah, bimbinglah daku: selalu, b e r s a m a M
u.....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.