TAMENG CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ada seorang gadis cantik berterus terang kepada Kanjeng Nabi saat terbukanya kota Mekah, gadis ini kehilangan kekasih yang karena merasa terancam akan terbunuh, kekasihnya melarikan diri entah kemana asal terhindar mati. Padahal hari itu sudah ada pengumuman--hari kasih sayang--siapapun yang berlindung di Ka'bah dan rumah Abu Sufyan, terbebas dari pembunuhan.

Perjaka ini tidak percaya akan cinta, maka dia lari menuju sebuah pantai untuk menyeberang agar tak terlacak jejaknya. Atas pengaduan gadis itu Kanjeng Nabi memberi perintah: carilah dia, lalu bawalah kesini. Maka dengan serta merta gadis itu mengejar kekasihnya dengan cara mencari jejak-jejak kaki di gurun sahara, tentu tapak-tapak kaki kekasihnya itu. Sejauh mata memandang, hanya padang pasir terhembus angin, semakin menyulitkan dirinya karena tapak kaki itu hilang. Pekik suaranya lenyap oleh desau angin, dan luasnya sahara.

Lapar dan haus ia tahan, nafas ia panjangkan, kaki halusnya bertarung dengan pasir, batu dan kerikil, tidak terasa, sampai berdarah bagai kaki Sayyidina Ali mengejar jejak Kanjeng Nabi menuju Medinah. Bukit demi bukit ia lalui, waktu sudah ia hiraukan, hatinya tertambat kepada kekasihnya, Derita yang ia alami serasa manis, dan memompa tenaga baru tanpa tepi. Seharian mencari kekasih,s enja tiba, melalui temaram cahaya matahari senja, nampaklah dua orang di pinggir pantai mulai mengayuh sebuah perahu kecil. Serasa mau terbang dia untuk menggapai dua sosok di ujung senja itu, di sebuah pantai.

Haiiii, tungguuuuuuuu--jeritnya dengan keperihan rindu. Haiiii, tunguuuuuuuuuu--pekiknya dengan larinya hati sekencang larinya kaki. Ternyata perahu itu semakin menengah ke laut, semakin hilang dalam pandangan gadis itu. Setelah sampai di pinggir pantai gadis itu menjerit, dengan melambai-lambaikan kerudungnya: Yaa Habibyyyyyyyy--gesanya dengan puncak larinya hati yang merindu.
Angin dan gelombang laut sepertinya mengabarkan panggilan itu ke kekasihnya, bukan di telinga tapi di hatinya. Ada semacam komando untuk kembali secara misteri , kembali ke bibir pantai tempat ia berangkat itu. Ternyata jeritan gadis itu tidak berhenti, terus menggema sampai suaranya serak, sampai suaranya habis, lalu memanggil dengan hatinya yang pilu itu. Sementara malam semakit pekat hitam menyelubungi alam, di bibir pantai itu.

Begitu mendekat ke bibir pantai justru perjaka itu ditunjukkan yang punya perahu, nampak di pinggir pantai itu ada sosok bergerak-gerak melambai-lambaikan tangannya, membungkuk-bungkukkan badannya, tanpa suara. Betapa kagetnya itu perjaka begitu tahu bahwa itu adalah kekasihnya, kaget dengan ketakjuban, kaget dengan keharuan, kaget dengan tangisan: keduanya berangkulan tanpa kata, tanpa suara.

Dua badan satu jiwa, kemah tubuh berlainan jenis tetapi hatinya satu, bernyanyi tentang cinta. Lama sekali rangkulan itu, disaksikan tukang perahu, dan temaram malam dan di latar belakangi debur ombak menderu--selalu--bagai nyanyian rindu....

Kawan-kawan, sebenarnya lelaki kekasih gadis itu tidak berani pulang kampung dengan mengingat masa lalunya yang kelam berkenaan dengan penentangannya kepada ajaran kebenaran yang dibawa Kanjeng Nabi, sementara kekuasaan penuh sekarang di tangan beliau. Tetapi gadis itu bisa meyakinkan dengan cara bahwa kalau kekasihnya itu takut mati, dirinya lah yang menjadi tameng hidupnya, tameng cinta.

Begitu dua sejoli ini sampai di depan Kanjeng Nabi saw, beliau tahu ketakutan itu, ketakutan antara hidup dan mati, namun dengan pancaran kawelasannya yang tanpa batas itu, dengan lembut beliau menyatakan: sekarang juga engkau berdua aku nikahkan! Dengan cinta menghidupkan dari kematian, menyatukan hal yang terpisah, memaafkan hal yang salah, memahkotai dengan menikahkannya, menyaudarakan dari permusuhan, abadi....

catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel