SYIRIK CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, simaklah kata-kata ini: Tradisi adalah agama! Begitulah yang berlaku di tengah masyarakat kita, begitu banyak "amalan-amalan" yang diatas namakan agama namun setelah diteliti ternyata tidak ada yang asal-usulnya adalah dari agama, amalan-amalan itu tak lebih hanyalah tradisi yang sudah mengakar dan mendarah daging di tengah manusia, manakala berusaha diluruskan mendadak, mereka akan menunjukkan reaksi seolah-olah telah melanggar sebuah ritual yang sangat sakral, kompensasinya dikucilkan dan dijauhi masyarakat, realitas di atas banyak kita jumpai saat ini, menjamurnya amalan-amalan antah brantah ini menimbulkan keprihatinan kita, apalagi sebagian dari amalan-amalan tersebut kebanyakan berbau syirik!

Orang yang bilang ini menyebut selainnya tetep menganggap saudara, kata-kata menghakiminya ini mereka sebut sebagai nasehat, dengan cara: menuduh pihak saudaranya dengan argumen dalil-dalil, sementara dalil-dalil saudaranya dituduh palsu dan lemah, dalil mereka yang shoheh, memakai hadis palsu dan lemah sama artinya berdusta atas nama bagi Nabi saw. Berdusta atas nama Rasul adalah perbuatan haram yang dilarang dan termasuk dosa besar, apapun alasannya, apakah untuk memancing orang supaya giat beramal ataupun yang lainnya, tambah lagi hal itu sebagai kebohongan terhadap Allah, semua menyesatkan manusia, maka amalan itu menyiapkan tempatnya di neraka.

Aku sangat salut kepadanya atas nasehat [katanya] ini, betapa mereka sangat memiliki kepedulian kepada saudaranya sesama muslim ini sampai menyita waktu hidupnya, demi saudaranya--katanya. Tetapi [mohon maaf] mereka melupakan adab sopan santun dalam mu'amalah kemanusiaan ini, dimana seharusnnya mereka melihat dirinya supaya mereka melihat Tuhannya dan kemudian memiliki keluasan pandangan, tetapi justru mereka memakai dalil-dalil Tuhan [bukan untuk melihat dirinya] yang belum sempurna itu, tetapi menghakimi saudaranya yang sama-sama ingin menuju kesempurnaan iman itu.

Ketika menghakimi, dengan demikian menjadi tanda bahwa dalam jiwanya yang ada hanya "kuasa", bukan kerendah hatian itu. Ranah kuasa itu wilayah ego, yang pada ujungnya akan mengemuka dikenal dunia, bukan dikenalNya, mereka ingin menang dan juara diatas jeritan derita saudaranya, yang sebenarnya mewujud sikap ananiyah atau ke"aku"an itu. Memang mereka menghadap kiblat, pegangannya Qur'an, busananya bagus, rajin beribadah dan tidak menyembah berhala atau tidak syirik itu, namun ketahuilah [kalau boleh aku berpendapat] bahwa mereka itu menuduh syirik tetapi melakukan syirik juga, dalam bentuk nyata merasa ke "aku" annya itulah hakekat keberhalaan dalam hatinya itu.

Sementara dalam satu sisi ada yang jiwanya selalu mencari, sehingga tidak sempat menghakimi kedirian orang lain dalam menuju kesempurnaan iman itu, karena Tuhan telah menyodorkan adab sopan santun dalam proses kerinduan kepadaNya itu: bagimu agamamu, bagiku agamaku, bagimu amalanmu, bagiku amalanku. Apa salah orang ketika melihat "ciptaan"Nya [apa saja] lalu karena keterpesonaannya sudah menjadikan hatinya luruh, ambruk dan lembut, kemudian menjaga moralitas kebersamaan kemakhlukan ini? Itulah syirik Cinta.

Andai salah bukankah resiko kedirian itu akan dipertanggungjawabkan sendiri dihadapanNya itu? Bukankah cukup Allah yang berhak menghakimi? Bukankah cukup Allah yang berhak mnghakimi? Bukankah cukup Allah yang berhak menghakimi? Bagi yang pongah adab sopan santunnya, bisa menyimak kata-kata Rumi: penyembah berhala dengan tingkat kegairahan "mencari" itu lebih baik daripada bersimpuh di masjid tetapi merasa sok suci atau benar sendiri.

Atau misalnya, seorang perempuan tawanan perang yang menceritakan kebaikan ayahnya, yang menunaikan Cinta dalam bentuk pelayanan sosial, namun dia belum beriman secara formal, ternyata Kanjeng Nabi menyatakan: ayahnya itu besok di akhirat termasuk orang yang dekat dengan Allah, padahal ayah itu dalam tanda pethik--masih kafir itu….

Kawan-kawan, dalam kafilah hidup ini, sebagai anak-anak cucu Adam kita harus menyadari bahwa manusia sama-sama dalam menujuNya dan menatapNya, tidak selayaknya secara adab saling menghakimi satu sama lain karena masing-masing kita berjuang dalam proses menujuNya itu. Aku tidak putus asa atas ini semua, di tngah puing sejarah sekalipun, aku tetap berharap bahwa drama agung kehidupan ini sebenarnya bagian dari kehendakNya, dimana Adam diturunkan ke dunia menjadi tujuanNya, supaya "nggendong" seluruh anak-cucu Adam untuk kembali ke surga itu lagi, surga akan di huni bersama sesuai dengan amalnya masing-masing, andai kita lihat kejahatan dan kesalahan, tetap kita beramar makruf nahi mungkar dengan ketulusan tanpa dicampuri ke"aku"an yang hakekatnya, keakuan itu adalah keberhalaan itu sendiri, yang nyata.

Atas CintaNya yang suci, kejahatan dan kesalahan akan ditataNya dengan kehalusan tanganNya, menuju kesucian mereka. Kejahatan dan kesalahan musti diganjar dan dihukum--coba pikirkan kembali--firmanNya: marahKU kalah oleh cintaKU, maknanya kesalahan dan kejahatan yang sering menjadi bahan olok-olokan itu sebenarnya akan dimaafkan Tuhan, namun apakah diri ini akan berkelas dimaafkan, bukan berkelas dirindukan itu....

Punten, wallaahua'lam bishshowab....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel