SAMBAL CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, aku sering kedatangan seorang suami yang mengeluhkan istrinya, sampai ada yang stres karena ketidak-kuatan atas kemegahan istrinya dari sisi "ngomel"nya itu. Selalu aku sarankan: jangan bercerai, karena cerai itu perkara halal yang dibenci oleh Allah itu.

Lalu aku kisahkan tentang singa padang pasir Sayyidina Umar, dimana beliau walau punya kuasa sebagai khalifah dan suami, tetapi tetap rendah hati dengan fakta: beliau selalu kuat mendengar istrinya yang super ngomel itu. Aku tidak kaget kekuatan beliau ini karena pancaran cintanya Kanjeng Nabi saw membungkus diri beliau sehingga merelakan semua kejadian menggores pada dirinya.

Akupun bilang kepada para suami itu, seburuk apapun ocean burung-burung, semua adalah kreasi Allah yang sangat Indah. Seorang istri adalah amanah dari Allah, apalagi yang sering aku sebut bahwa wanita adalah bayang-bayangNya, dengan kesaksian: dari rahim wanitalah manusia sejagat ini lahir, sehingga siapaun lelaki yang meremeh-remehkan wanita maka ia akan menemukan kesulitan dalam proses menatap jamaliyahNya.

Dalam kehidupan sudah pada galibnya, suka duka, pahit manis, berat ringan, jauh dekat, sehat sakit dan seterusnya itu, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Kalau boleh di andaikan dunia ini adalah sebuah gunung, siapapun yang berteriak buruk, maka keburukan itu akan mengenai diri yang berteriak itu, demikian juga manakala teriakannya merdu maka kemerduan itu akan kembali ke diri mereka juga.

Orang mengira kehidupanku ini serba berkecukupan, ke sana ke mari diundang orang, ada uang ada makan enak melulu, tetapi kehidupan selalu punya kesamaan-kesamaannya, terutama diomeli istri itu, bahkan banyak suami yang gagah di kantornya tetapi habis riwayat manakala masuk rumahnya, seperti Sayyidina Umar itu. Banyak juga Kiai yang bagai singa podium saat di pengajian, namun punya nasib yang mengenaskan di depan Bu Nyai itu. Bukan Kiai tak bisa melawan, tetapi ittiba' kepada Sayyidina Ali itu, rata-rata mengalah, mengalah, mengalah, mengalah dan mengalah.

Mengalah itu aslinya meng-Allah, dimana goresan hidup selalu diprasangkai sebagai kado temanten dariNya, dimana kala dibuka isinya ternyata sekuntum bunga teratai yang bermahkotakan seribu bunga, artinya setiap ketidaksukaan suasana hati itu dipahami pasti ada hikmah agung di baliknya, pasti itu. Apalagi seperti aku ini banyak kelemahan dan kesalahan, dimana: hidupnya tidak pomah [selalu melayani panggilan pengajian--punten--tanpa transaksi], melek malam sudah pasti [maaf, sampai jarang kumpul malam, hehe], uang di mataku aku pandang uang manakala aku sedekahkan, kalau tidak aku merasa hanya menumpuk kertas, aku biasanya tak mau menunda besok pagi, dengan asumsi: iya kalau umurku nanti sampai besok pagi itu, belum kesalahan dan kelemahan yang lainnya. Maka, aku merelakan andai istriku marah atau ngomel seperti yang dialami oleh para suami yang berkonsultasi itu, tetapi nasib itu tidak selamanya, bahkan aku pahami sebagai derita yang melahirkan keterjagaan hatiku.

Pernah pada suatu ketika, istriku muring2 [ngomel melulu] dengan orkresta komentar, tetapi aku dengar dengan keta'dziman sebagai suami, ternyata ngomong itu juga tidak lama, paling hanya beberapa jam dan setelah itu diam. Ketika diam itulah aku dekati dengan tingkat kemesraan: masih adakah stok untuk dilanjutkan? Ternyata istriku bilang seperti nada bergurau: sebentar Mas, aku mau mengarang kata-katanya dulu! Meledaklah tawa dan senyumku padanya, dan kalau masih aku minta untuk dilanjutkan sepuasnya [sak lempohe, Jw]. Setelah kejadian itu sampai sekarang istriku tak pernah ngomel, paling banter hanya senyum padaku, ya senyum: dia pandang aku tanpa komentar itu.

Malah sampai pernah kejadian, dimana uang sepeserpun nggak ada, aku bangun pagi dalam keadaan lapar banget, maka istriku [dengan senyum] menyuguhkan sepiring nasi dengan sambal bawang [lombok, garam, bawang], maka dalam benakku tidak ada bibit marah, tetapi mengharu biru, dimana aku pahami cara ini dia menasehatiku dalam bahasa sunyi: biar aku mengerti sendiri! Akupun memandang suguhan itu sebagai suguhan yang terindah dalam hidupku, aku tidak mau meremehkan sentuhan lembut darinya walau sebiji nasi, karena sebiji nasi pun sampai dimulutku ini berkat sentuhan jutaan tangan manusia sampai dibibirku, lombok itu pun sentuhan lembut tanganNya, apalagi bawang itu kreasi Allah yang sangat indah dan penyedap yang lezat. Seketika aku menyongsong suguhan itu dengan hasrat yang menyala, aku makan dengan lahap dan rasa syukur yang tiada terkira, aku syukuri suguhan itu sampai aku meneteskan airmata, aku menangis bahagia, aku menangis bahagia!

Ternyata istriku memandang aku makan dengan penuh nyala hati ini pun menangis, dan ketika aku tanya kenapa dia menangis, dia menjawab: aku takut engkau marah dengan lauk sambal ini, ternyata prasangkaku salah, engkau makan dengan semangat melebihi lauk yang mahal sekalipun. Pagi itu aku makan dengan kuah airmata kesyukuran….

Kawan-kawan, sampaikan salam kepada istrimu semua, derita dan nestapa jangan sampai menjadikan mahligai rumah tanggamu retak, justru derita dan duka melahirkan perekat dan keterjagaan hati akan ingat karunia-karuniaNya ini, hatimu dan hati istrimu yang lembut akan melahirkan anak-anakmu yang berhati lembut: dimana di dadanya Tuhan bermahkota, dan anak-anakmu itu menjelma menjadi Cinta, hatimu akan bernyanyi pada anak-anakmu, amin ya Allah, amin ya Allah, amin ya Allah, amin….


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel