LAYAT CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, kemaren aku mendatangi Haflah Akhirussanah di Yayasan Darul 'Ulum, Wates Mijen Kota Semarang, jenjang pedidikannya mulai dari TK, MI, MTs, MA, di pojok kota aku temukan keindahan bak menemukan mutiara dalam kedalaman samudra. Dalam banyak media selalu memberitakan keburukan yang melimpah, dalam kenyataan di lapangan tidak seburuk yang di beritakan. Pengunjung sedemikian melimpah, wali murid dan masyarakat umum sedemikian rukun dan guyub menyanyikan kidung cinta, dalam wujud mencerdaskan kehidupan bangsa.

Aku lebih percaya akan jaminan Allah bahwa Dia tidak akan memberikan bencana kepada suatu kaum atau bangsa selagi kaum itu masih ada saja yang berbuat kebajikan dan kesalehan. Kebajikan semua civitas akademika di Yayasan Darul 'Ulum kampung ini, bagian dari titik tumpu rahmat dan kasih sayang Allah diturunkan. Malah dimana-mana aku temukan kesalehan itu, cuma semua kebaikan yang melimpah ini tidak diberitakan, malah keburukan saja yang diceritakan dan diberitakan.

Belum lagi alunan musik gambus dan rebananya, aku lihat sangat indah, yang dimainkan anak-anak siswa madrasah itu, sebagai sarana menyatukan jiwa-jiwa. Aku sampaikan kata-kata Sayyidina Ali, Orang tua Ibarat busur, anak-anak ini ibarat panah, yang akan dilepaskan. Dalam pelepasan ini ada yang perlu direnungkan, bahwa orang tua mendampingi anak-anak itu paling banter sampai cicit, setelah itu mati. Jangankan kita mati, ketika masih hidup saja banyak yang tidak mencurahkan kasih sayang kepada anak-anak itu, apalagi manakala kita sudah mati : siapa yang akan memberikan kasih sayang itu dalam bentuk pendidikan akal dan budi pekerti?

Orang pasti akan ribut dengan kebutuhan masing-masing, mana sempat sampai menegur anak-anakmu itu, kalau tidak kau bawakan cahaya iman yang menetes cintanya di dada anak-anak itu. Sehinga anak-anak itu tidak harus ditegur melakukan kebaikan, tetapi melalui dari dorongan dalam hatinya, yang bekalnya sudah kita bawakan.

Lihatlah,ada seorang anak kelas empat MI, namanya Andika bin Poniman yang aku temui malam itu. Anak ini sejak TK memiliki sikap yang tidak umum, hobinya takziyah atau melayat kalau ada yang meninggal, sehingga guru-gurunya memaklumi kalau Andika ini mohon izin dari sekolah: untuk melayat. Dari mulai menahlilkan, memandikan, mengafani, menyolatkan, mengusung ke kuburan, sampai pada meletakkan ke liang kubur.

Anak shaleh ini tentu belum kenal dengan apa yang disebut hak-hak muslim antara satu dengan yang lain: kalau ada yang mengundang datanglah, kalau ada yang meninggal layatlah, kalau ada yang sakit jenguklah, kalau ada yang uluk salam jawablah, dan kalau ada yang bersin do'akanlah. Kalau ada yang sampai melarang, dia punya taktik: ingin mencari ayahnya, padahal sebenarnya akan melihat langsung prosesi penguburan orang yang meninggal itu. Bahkan kalau tetap dilarang dia akan menangis dan tangisnya akan diam kalau sudah berhadapan dengan seluruh proses pemakaman.

Aku tanya: apakah adik senang melihat orang kesusahan? Tidak--sahutnya. Kenapa--lanjutku bertanya--tidak seperti sebaya adik, kalau ada mayit diusung ke kuburan mereka bersembunyi atau mengintip lewat lubang dinding rumahnya? Ada keindahan dibalik itu--katanya. Apa itu--kejarku. Aku senang pada kematian--katanya....

Kawan-kawan, sontak aku ingat akan kata Rumi, setiap kematian membawakanmu lebih banyak kehidupan. Engkau berdiri di tepi samudra CintaNya. Terjunlah ke bawah ombak besar perpisahan. Menyelamlah ke kedalaman mistis. Larutkan dirimu dalam samudra itu. Bagai seekor ngengat di seputar lilin, biarkan dirimu terseret tanpa daya dalam api sampai engkau terlumat oleh api dalam inferno komune. Pecinta memilih api karena ia mengetahui rahasia: madu berharga sengatan....

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel