LAMBAIAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, pada galibnya yang bicara itu lisan atau mulut, ternyata
peristiwa juga bisa berkata bahkan Kanjeng Nabi saw menyatakan bahwa
cukup kematian bisa menjadi "nasehat", dari sudut pandang
apa saja, terutama kapan kita menyusul itu.
Pagi
ini aku melihat bahwa tangan bisa berbicara, ketika aku mengantarkan
pemberangkatan haji sahabatku di Cepu--Kiai Lilik, yang rumahnya aku
sebut juga Rumah Cinta karena "well come" bagi siapa saja
untuk sekedar jagong atau mau menginap--termasuk Anda, monggo saja.
Rumah yang eksotik Jawa ini [karena serba ukir] bernilai milyaran
ini, dibangun hanya untuk menghormati tamu-tamunya secara universe
[tanpa sekat perbedaan apapun] sebagaimana diajarkan kekasih Allah
itu.
Sejak
semalam aku lihat sendiri orang sederhana yang murah tangannya ini
karena sedemikian suka memberi sedekah kepada siapapun, termasuk yang
paling utama adalah mengentaskan anak-anak yatim dan miskin, belum
membantu sarana ibadah dan kepentingan umum, konon sikap ini
keturunan dari ayahnya Haji Samadun, hati orang tuanya bernyanyi pada
anaknya ini. Tamu yang hadir di rumahnya sedemikian tak
putus-putusnya, mereka disamping mendo'akan lancar dan selamat serta
diberi kekuatan beribadah selama di Makkah Medinah, mereka rata-rata
titip salam sama Kanjeng Nabi saw dan mohon dipanggil namanya agar
bisa segera menyusul berangkat tahun-tahun berikutnya.
Peristiwa
agung [menurutku] ini aku menjadi saksi bahwa yang bicara bukan mulut
tetapi tangan-tangan itu, mereka datang membawa oleh-oleh [yang tak
dikehendaki Kiai Lilik], tangan mereka saling berjabat tangan yang
menunjukkan kehangatan paseduluran tanpa batas dan tepi ini, bahkan
dalam suasana ketawadlu'an dan keharuan hati. Bahkan sampai pagi
tadi, tangan-tangan penuh harap ini berbicara lebih keras dari sisi
keharuan hati karena mereka akan saling berpisah untuk "munggah
kaji" ini [walau keluarga Kiai Lilik ini sudah berkali-kali],
keintiman yang begitu kenthal yang aku saksikan menjadikan pagi tadi
penuh makna dan warna.
Setelah
usai aku mengajak bershalawat dan bersama membaca talbiyah
[labbaikallahumma labbaik labbaika lasyaikalakalabbaik innal hamda
wannikmata lakawalmulk lasyarikalak], kembali tangan tangan itu
bicara dalam suasana yang tambah mengharu biru: mas sugeng tindak
[selamat jalan], pakde panggil aku njih, kiai panggil namaku ya,
panggil aku, panggil aku, panggil aku, panggil aku! Mereka sambil
berkerumun, berjubel dan berangkulan serta berjabat tangan dengan
bersimbah airmata yang memata air, diam-diam aku larut dalam tangis
ini.
Boleh
tahu ada seorang sepuh yang sudah berumur tujuh puluh lebih--namanya
mBah Suli, yang lewat keberkahan tangannya [dukun pijit dengan
menyentuh] Allah memberikan keajaiban bisa sehat dan sembuh, termasuk
Gus Ali Tulangan juga pernah beliau pijiti, aku pagi itu mencium
tangan beliau dengan penuh ketawadlu'an juga, sambil berbisik di
hatiku meniru Kanjeng Nabi kala menjabat seorang pemecah batu di
sahara: dengan tanganmu ini mbah yang suka menolong orang dengan
keikhlasan, engkau tak akan tersentuh oleh api neraka--ujungnya aku
pun meneteskan airmata.
Diiringi
talbiyah menggema rombongan keluar dari gang rumah Kiai Lilik ini,
aku lihat kota Cepu yang kecil ini macet oleh para pengantar
saudara-saudaranya yang naik haji ini, berkumpul menuju Masjid di
Viatra Migas Cepu, se kloter 67. Pasar banyak yang tutup juga
mengantarkan pemberangkatan sedulur-sedulur mereka ini, suasana mirip
kesemarakan hari raya Idul Fitri saja. Aku mengamati pesona ini
sambil berjalan kaki mengiringi Kiai Lilik dan keluarganya--termasuk
mBah Suli--sejauh satu kilometer karena jalan penuh dengan pengantar.
Pesona
keluarga lalu bergerak ke pasona se Cepu ini, mereka rata-rata
bermata sembab karena banyak airmata tumpah antara yang mengantar dan
yang berangkat itu, tangan-tangan saling berdamai, tangan-tangan
saling berjabat basah oleh do'a-do'a indah: semoga menjadi haji
mabrur dan mabrurah.
Begitu
upacara se Cepu usai di serambi Masid Viatra Migas ini, aku lihat
sendiri Kapolsek akan memandu perjalanan menuju Kabubaten Blora
menuju Donohudan Solo, untuk berangkat esok hari, dengan mobil sedan
patroli, diikuti Camat dan Lurah-lurah, tambah anak-anak pramuka yang
mengumpulkan dana untuk saudara sebangsa yang baru terkena musibah
itu. Lalu kembali tangan-tangan itu berjabat lagi dengan sedemikian
erat--diiringi talbiyah dari loudspeaker Masjid--untuk yang terakhir
kali karena setelah itu mereka berpisah, ya berpisah. Berpisah dengan
orang-orang yang dicintainya: anak, dan kerabat handai tolan.
Aku
merasakan juga keberatan itu kala aku sendiri naik haji tahun 1997,
dimana aku berfikir dan sadar: kalau memang ini perjumpaan terkhir
dengan istri dan anak-anakku, maka aku ciumi mereka satu-satu
barangkali kalau aku mati di sana, paling tidak aku meninggalkan
kenangan indah dalam hidup anak istriku, yakni kecupan cinta yang
dirasakan abadi dalam hati anak istriku ini, inilah kecupan terakhir,
maka tumpahlah airmata di antara kami, airmata cinta dan kasih
sayang. Aku berbisik dengan bibir bergetar: Dik, aku pamit yah, Gus
abah pamit yah, Gus aku pamit yah, Nok abah pamit yah, terbayang
kalau aku mati dalam perjalanan suci ini sebagi tamu Allah,tamu yang
bagai mayit itu--lalu aku usap kepala istri dan anak-anakku semua
yang berjumlah sembilan itu.
Suasana
indah itu aku saksikan pagi tadi di Cepu ini, bus-bus pengangkut
jama'ah sudah bergerak seiring sirine mobil patroli meraung-raung,
aku yakin senada juga raungan jiwa-jiwa antara harap dan cemas bisa
kembali atau meninggal di tanah suci itu, bisa bertemu kembali atau
tidak di tanah air tercinta ini, bisa bertemu kembali atau tidak di
rumah-rumah mereka itu. Dan masya Allah, kembali aku lihat ribuan
tangan-tangan itu melambai-lambai yang juga disambut lambaian saudara
atau orang tuanya di balik kaca bus ber-Ac itu. Ribuan tangan itu
bagai memekik do'a-do'a indah, lambaian tangan-tangan itu berbicara
dengan lantang: wahai kakekku, wahai nenekku, wahai kedua orang
tuaku, wahai saudaraku ambil tanganku kapan bisa menyusul kerinduan
sucimu ini, kapan aku bisa berangkat untuk mewujudkan tanda sebagai
hamba yang pandai bersyukur ini, selamat jalan, selamat jalan,
selamat jalan, semoga selamat dan kita bisa bertemu kembali dalam
dekapan cinta yang lebih baik lagi, disini....
Kawan-kawan,
aku yakin pesona ini tak akan putus, sambung menyambung dari kampung
sampai ke tanah suci yang di sana cinta dan rindu akan tertampung,
sedunia. Sementara tangan-tangan itu melambai--lambaian cinta--dengan
iringan talbiyah menggema, aku berdo'a dalam iringan airmata: semoga
yang hormat semua ini Engkau beri jalan mudah untuk membayar cinta
dan rindu sebagai bentuk nyata menjadi hambaMu yang pandai bersyukur,
bisa berangkat "munggah kaji" walau sekali seumur hidupnya
ini.
Sampai
aku tulis pesona itu kali ini, aku berdo'a dengan kedalaman hatiku:
semoga teman-teman facebookku ini ya Allah Engkau anugrahi kemudahan
rizki sehingga seumur hidupnya--walau sekali ya Allah--bisa ziarah
haji untuk ziarah juga ke makan kekasihMu, yang telah
memperkenalkanMu, menujukkan jalan menujuMu, mewarisi kalam suciMu,
yang tak tega atas neraka umatnya dan sepenuh harap beliau gendong
umatnya menuju surgaMu, ya Allah, ya Allah, yaAllah, amin, amin,
amin....
Labbaikallahummalabbaik….
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.