KUNANG CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, dalam pergantian siang dan malam hari selalu ada isyarat
yang menjadi pelajaran bagi siapapun yang mau berfikir, apalagi siang
malamnya jiwa yang disebut terang dan gelap hati. Manakala hati
terang benderang semua nampak jelas, antara yang benar dan salah,
antara baik dan buruk, dan antara indah dan tidak--hati bagai ada
mataharinya. Namun ketika gelap hati, semua nampak hitam pekat--bagai
malam gulita itu, memang ada rembulan yang kadang purnama, memang ada
bintang tak berbilang di langit yang membentang, namun semua ini
masih kelihatan samar cahayanya sehingga menjadi samar juga pandangan
hati manusia.
Bila
seseorang mengalami hal yang gulita ini maka harus menyadari akan
adanya pergantian siang dan malam hari secara alami, demikian juga
masalah suka dan duka itu berputar secara natural--bagai siang dan
malam itu, dalam jiwa. Disamping kesadaran akan pergantian ini, orang
harus cermat akan adanya hidayah pada setiap jengkal langkahnya, agar
hidupnya tidak dipenuhi: kejengkelan, marah, ketergesaan, dan
keputusasaan itu, setiap hari.
Bila
seseorang terpanggil akan Cinta harus memahami antara pertemuan dan
perpisahan itu, bagai menyadari akan adanya siang dan malam hari ini,
dimana manakala bertemu maka pertemuan itu menjadi puncak keintiman
antara kekasih dengan kekasih [dimana kata-kata sudah tidak
dibutuhkan lagi], manakala berpisah maka bukti akan adanya Cinta itu
adalah semakin intim dan intens juga antara kekasih dengan kekasih
[cuma bentuk inten ini berupa nyeri rindu, yang menghasilkan puisi
indah, bukan amarah].
Dengan
ini bisa dilihat dengan nyata akan adanya Cinta atau tidak dalam diri
seseorang, kalau ketemu kok malah dingin dan tidak nyambung, apalagi
saat berpisah akan menjadi ajang kesempatan atas keterpisahan dengan
tanpa adanya kenyerian rindu yang melahirkan "kidung suci",
jelas bahwa seseorang itu di dadanya tak ada Cinta--demikianlah juga
hamba kepada Tuhannya bagai kekasih dengan Kekasih itu.
Lihatlah
Cinta seekor burung saja, ia sedemikian percaya akan adanya Cinta itu
di dadanya: ia yakin dimana-mana ada karuniaNya sehingga tidak harus
menumpuk harta seperti manusia ini, ia berkidung suci begitu saja
tanpa transaksi--bukan seperti manusia bernyanyi atau ceramah ini, ia
membangun sarang yang rentan akan goyangan angin topan pada
ketinggian sebuah pohon itu beserta anak-anaknya tanpa rasa takut
seperti takut yang dimilki manusia,dan masih banyak lagi sifat baik
burung yang tak dimilki oleh manusia ini.
Ada
seekor burung terbang kesana-kemari seharian--menyongsong
rejeki--mencari makanan buat anak-anaknya di sarang, namun baru dapat
rejeki setelah senja hari, maka ia belum sampai ke sarangnya sudah
disergab gulita malam hari. Karena matanya gelap ketika tanpa cahaya
matahari, maka ia bertengger pada sebuah ranting pohon di hutan
belantara, memang ia lihat rembulan dan bintang gemintang di langit
lazuardi namun baginya tak mencukupi matanya untuk meniti lorong
malam, untuk kembali ke sarang--menyuapi anak-anaknya menanti sejak
pagi hari.
Ia
menangis ketika terdengar tawa ceria burung-burung yang sudah bertemu
dengan keluarganya di sekeliling ranting tempat ia bertengger itu,
lalu mereka bisa menina-bobokkan anak-anaknya dengan lagu-lagu
binatang malam, namun tidak baginya karena ia masih dalam perjalanan
untuk pulang--ke sarang dimana anak-anaknya menjelang. Semakin malam
airmatanya semakin deras mengalir,matanya semakin gelap dan terasa
hitam pekat namun tidak hatinya, karena mata hatinya "melihat"
dengan jelas bahwa anak-anaknya menanti di sarang itu. Hatinya
menghadirkan betapa laparnya anak-anak itu, betapa rindu anak-anak
itu atas kedatangannya, selamatkah mereka selama ditinggalkannya,
masih terjagakah kini atau sudah terlelap tidur atas dekapan
kelaparannya?
Di
puncak kerinduannya inilah burung itu berkidung padaNya--pada tengah
malam: Ya Allah, selamatkan anak-anakku, lindungi mereka dari
marabahaya, karuniaMu yang aku bawa belum sampai pada mereka, lewat
akulah cintaMu pada mereka, kehadiranku bagi mereka adalah kesaksian
cintaMu ini, biarlah aku lapar asal mereka kenyang ya Robb. Malam ini
aku tidak bisa pulang ke sarang, memang banyak burung-burung di
sekelilingku malam ini tetapi mereka asyik dengan keluarganya
sendiri-sendiri, aku malam ini bagai di sahara tanpa tepi, aku pasrah
kepadaMu, tolonglah bagaimana caraMu agar aku bisa pulang dan
kesaksian cintaMu pada anak-anak itu menjadi terang benderang--bahwa
aku pulang, aku pulang, aku pulang, aku pulang, aku pulang....
Kawan-kawan,
datanglah seekor kunang-kunang mengitari burung itu sambil selalu
terbang, ke kanan kirinya, ke depan belakangnya, ke atas bawahnya
dengan cahaya kerlip-kerlip itu, sambil bilang dengan lembut dan
merdu meratu: Wahai burung perindu anakmu, aku dengar tangismu atas
kabar dari angin yang mendesir nan begitu dingin malam ini, aku ini
orang kecil wahai kawan tetapi akuilah bahwa aku ini juga saudaramu
sebelantara di hutan ini, aku tahu deritamu ini, maka aku tawarkan
kepadamu supaya tangismu dan tangis anak-anakmu berhenti karena
saling merindukan pertemuan malam ini, mari aku tuntun engkau
saudaraku di tengah gulita malam ini dengan kecilnya cahayaku, untuk
menuju sarangmu dimana anak-anakmu menunggu, dimana anak-anakmu
merindu padamu, dimana anak-anakmu berbahagia bisa bertemu dengan
dirimu, dimana anak-anakmu bisa terlelap tidur dalam dekapan sayapmu
dalam keadaan perutnya terisi penuh karuniaNya yang masih kau bawa
dalam kerongkonganmu....
mari
kawan, mari, ikutilah cahaya kecilku, menuju dimana sarangmu....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.