KEHENDAK CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, aku lahir pada hari yang diluar kehendakku--Senin Kliwon,
pada tanggal bulan dan tahun yang bukan kehendakku [17 Mei 1963],
juga detik yang bukan kehendakku [pagi, malam, siang], termasuk
tempat dimananya itu juga bukan kehendakku [Desa Baturagung Kecamatan
Gubug Kabupaten Grobogan Purwodadi Jawa Tengah Indonesia]. Termasuk
nama yang aku miliki ini juga bukan kehendakku, Budi Harjono [andai
kata itu dari orang tua, lalu siapa yang berkehendak terhadap krenteg
kata-kata, padahal kata adalah bayangan jiwa, lha jiwa darimana?].
Kemudian
aku lahir dari Ibu Hajjah Rukanah juga bukan kehendakku, aku berayah
Bapak Soetikno juga bukan kekendakku. Aku menjadi orang Jawa juga
bukan kehendakku, aku berbangsa Indonesia juga bukan kehendakku, aku
hadir di dunia juga bukan kehendakku. Lalu aku amati lebih detail:
hidungku pesek juga bukan kehendakku, bentuk tubuhku bulat juga bukan
kehendakku, kulitku hitam kecoklatan juga bukan kehendakku, sampai
kepada keadaan-keadaan yang aku terima juga bukan kehendakku [kalau
menuruti kehendak banyak yang tidak ideal].
Sekeping
kesadaran ini bisa aku renungkankan saat berada dilereng Merapi itu,
bejibun pertanyaan tentang kehendak itu: siapa yang berkehendak
mereka lahir di sini, dari orang tua di lereng ini, termasuk
meletusnya Gunung Merapi ini? Kemudian aku malam tadi mengisi
pengajian di pesisir pantai Semarang yang terkenal kena rob, juga
merenung dengan mendalam: kehendak siapa semua ini bisa terjadi,
walau keadaan mereka juga sangat-sangat menderita karena rumah mereka
tergenang rob yang datang dan pergi begitu saja, bukan kehendak
mereka.
Hal
ini bisa kita kembangkan: kehendak siapa gempa datang tanpa diundang,
kehendak siapa itu tsunami menerjang daratan dengan tanpa peduli
jerit pilu, kehendak siap itu angin topan tambah angin puting beliung
memporak-porandakan pemukiman dan taman-taman kehidupan, kehendak
siapa itu kecelakaan-kecelakaan terjadi di belahan bumi dengan
momentum yang tak bisa dihindari, kehendak siapa itu kapal tenggelam
atau terbakar di lautan, kehendak siapa itu, kehendak siapa itu,
kehendak siapa itu.
Peristiwa-peristiwa
terjadi didepan mata kita banyak yang sebenarnya bukan kehendak kita:
pas jajan di kaki lima tahu-tahu pengamen dan pengemis datang
menjelang, jagong bersama keluarga tahu-tahu ada cicak jatuh di
pangkuan kita, ada tamu-tamu menghampiri rumah kita. Buang air besar,
kencing, menguap kalau dicermati juga bukan kehendak kita. Adanya
semesta juga bukan kehendak kita, adanya setan juga bukan kehendak
kita, adanya, adanya, adanya, adanya, adanya--hakekatnya bukan
kehendak kita.
Dengan
ini aku musti akan diberondong pertanyaan: kehendak siapa itu
pembunuhan, kehendak siapa itu pencabulan, kehendak siapa itu
pencurian, kehendak siapa itu perampokan, kehendak siapa itu korupsi,
kehendak siapa itu iri dengki, kehendak siapa itu kesombongan,
kehendak siapa itu penipuan, kehendak siapa itu nepotisme, kehendak
siapa itu kolusi, kehendak siapa itu penghinaan, kehendak siapa itu
olok-olok, kehendak siapa itu pamer, kehendak siapa itu membanggakan
diri, kehendak siapa itu ketidakpedulian, kehendak siapa itu bejibun
kejelekan yang tersebar dimana-mana....
Kawan-kawan,
ketika orang geger atas munculnya pertanyaan, maka reposisinya bagai
Nabi Musa yang selalu menanyakan kepada Nabi Khidzir itu: kenapa bayi
dibunuh, kenapa kapal di rusak, kenapa rumah roboh ditegakkan,
kenapa, kenapa, kenapa, kenapa. Memahami sebuah kejadian dari sudut
pandang ini bisa dirunut dari tiga dimensi waktu itu: masa lalu,
sekarang dan masa mendatang. Siapa yang diantara kita mengetahui
secara lengkap dari kemenyeluruhan diri kita ini, apa lagi mengetahui
kemenyeluruhan dari hidup seseorang.
Makanya
Nabi Musa pun tak memahami kenapa orang tua yang tak tahu menahu soal
harta rampokan yang diambil pemiliknya sendiri--saat perampok itu
mabuk, lalu orang tua dibunuh oleh perampok itu, hal ini dijawab oleh
Allah: Hai Musa, orang tua ini dulu pernah membunuh orang tua dari
anak yang mengambil hartanya sendiri ini. Dari sini aku yakin bahwa,
hakim dunia--atau siapa pun lah-- yang tidak beres, disamping mereka
akan dihisab oleh Allah--dengan caraNya sendiri, siapa pun yang
melakukan ketidakbaikan juga akan dihisab dengan kehendak CintaNya,
Sendiri....
Ampuni
Ya Rabb....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.