KEADILAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta,ketika cinta dipahami secara holistik (penuh) dengan merangkum segenap unsur-unsurnya, maka orang akan melihat dengan jelas akan keseimbangan hidup, tidak ada yang gecol di semesta raya ini. Diri akan terasa damai sekali walau dirundung persoalan hidup yang dipahami secara adil itu, ia akan semakin membungkan mulut untuk banyak omong karena terpesona oleh keindahan keadilan, paling-paling ia akan melempar senyum, senyum yang indaaah sekali.

Seandainya ia berani omong, paling-paling beraninya yang baik-baik saja, karena pandangan pesona hatinya tidak memungkinkan ada ruang bagi keburukan, tidak ada, tidak ada. Kalau diri itu merajut cinta dalam mahligai keluarga, maka akan tercipta sakinah mawaddah warrahmah. Sampai-sampai Kanjeng Nabi menyebut keluarga yang rukun itu: suasana surga yang diturunkan Tuhan di bumi. Kalau diri-diri semacam ini mengurusi kenegaraan, maka akan tercipta suatu negara yang baldatun thayyibatun warobbun ghafuur. Penduduknya akan menampilkan tarian cinta dalam bentuk saling menyapa, saling silaturrahmi, saling menolong, saling mendo'akan, saling, saling, saling.

Setiap diri merasa bahwa kelengkapan hidupnya ditentukan oleh kehadiran pihak lain, bukan sebaliknya kehadiran orang lain bagian dari hal yang mengancam hidupnya, bukan. Kalau diri ini menjadi penghuni dunia maka pandangan keadilan itu membawa kepada sikap ketenangan yang luar biasa. Lihatlah atribut-atribut dunia menjadi sarana pertengkaran yang cenderung primitif, maju kebelakang.

Lihatlah, banyak orang yang tidak memahami rububiyah Tuhan, mereka menjadi tuhan itu sendiri, mereka menyerang penyembag berhala, mereka menjadi berhala itu sendiri. Mereka mengutuk setan, aneh bin ajaib mereka menjadi mBahnya setan, menjadi Iblis itu sendiri.

Aku tidak benci kepada atribut, karena bisa dijadikan sarana-sarana menggabungkan energi cinta, agar lebih dahsyat bentuk pelayanan sesuai dengan wilayah keluarga, organisasi apa saja, negara apa saja, agama apa saja. Setiap keberadaan pasti atas izin karunia Tuhan, kalau tidak, mengapa mereka tetap dihidupkan.

Ini berarti kita pahami teritorialnya cinta, bisa Rahman bisa Rahim. Hati-hatilah berbicara, karena sekelas Nabi Musa bisa ditegur Gusti Allah atas kelancangannya meremehkan ungkapan cinta seorang pengembala, di gurun sahara itu, apalagi kita-kita ini, kelasnya apa. Termasuk soal keadilan ini, Nabi Musa menggesa: tunjukkan keadilanMU. Maka Tuhan memerintahkan Musa duduk di pinggir kolam: Lihatlah Musa, di seberang kolam, apa yang akan terjadi.

Nampaklah peristiwa terjadi, segerombolan rampok datang mabuk dengan meletakkan barang rampokan. Sejenak ada pemuda langsung mengambil barang itu. Begitu para perampok itu sadar dari kemabukannya, sejenak datang orang tua bertongkat, jalannya membungkuk-bungkuk, nampak tanpa salah. Kesimpulan perampok: karena barang rampokan tidak ada, di puncak kemarahannya para perampok itu membunuh orang sepuh bertongkat itu. Ya Allah--gesa Nabi Musa, aku tambah tidak faham......

Kawan-kawan, akhirnya dijawab oleh Tuhan bahwa anak muda itu tidak salah karena mengambil barangnya sendiri yang dirampok, sementara perampok itu membunuh orang sepuh itu juga bukan kesalahan, karena orang bertongkat itu--dulu, beberapa puluh tahun yang lalu--yang membunuh ayahnya anak muda yang mengambil hartanya sendiri itu. Banyak orang yang bagai Nabi Musa itu: kenapa keadaan begini, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa….

Mereka belum Me-Muhammad!

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel