DOLLY CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, aku pernah diprotes oleh guru salah satu SMA di Semarang ketika menyampaikan sebuah kisah seorang pelacur yang diampuni dosanya dan dimasukkan ke surga hanya sebab pelacur itu memberi minum seekor anjing yang kehausan di gurun sahara. Maka dengan kerendahan hati aku menyatakan bahwa itu bukan kata-kataku, tetapi kata suci dari lidah suci Kanjeng Nabi Muhammad saw, dimana beliau memberikan kabar akan keluasan dan kebesaran rahmat atau cinta Allah kepada hamba-hambaNya yang mau melakukan kebaikan walau sekecil dan sesederhana itu. Bahkan andai hamba itu melakukan kesalahan--menurut peraturan--harus memperoleh hukuman yang semestinya, tetapi ketahuilah bahwa Cinta Allah itu mengalahkan marahnya, sehingga sedemikian suci CintaNya sampai sebanyak pasir di pantai itu dosa, akan diampuniNya manakala hamba itu bertaubat kepadaNya.

Kalau toh ternyata hamba itu masih melakukan dosa kecil atau besar, sebenarnya itu proses aku mencari Aku dalam dirinya melalui lorong-lorong waktu yang setiap orang harap memahami dan memakluminya. Bukankah kejahatan atau keburukan itu hakekatnya adalah kebaikan atau cahaya yang belum terkuak kedoknya. Terkuak kedoknya ini melalui dua cara: ada yang bersumber atas hasrat di dada dan ada yang berasal dari Tuhan menyapa dengan membayar derita sebagai kafaratnya.

Dan Rendra pun menulis puisi: terhadap penjahat yang paling laknat pun pandanglah dari jendela hati yang bersih. Dan jangan kaget, sedekah sebiji kurma pun Kanjeng Nabi saw mengabarkan bisa merubah neraka menjadi surga, begitulah rahmat Allah tak bertepi, bukan sebagai mana manusia--sudah tidak mengatasi dan mengentaskan--tapi malah melaknati dan menghakimi serta memperolok-olok sedulur semanusia yang dalam proses mencari Aku dalam dirinya itu--atau Tuhan bermahkota di hatinya.

Malam ini aku diizinkan oleh Allah merekam kebaikan orang-orang Dolly, mereka libur semalam karena mengadakan pengajian rejeban bekerja sama dengan teman-teman Bang-Bang Wetan, hadir semua elemen masyarakat Dolly--konon tempat pelacuran terbesar Asia--bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng, ribuan pengunjungnya.

Kesaksianku malam ini seperti tidak ada keburukan di Dolly, karena aku tidak mau melihat keburukan orang lain, yang aku lihat adalah semua penghuni Dolly bersimpuh menyerah hatinya, larut dalam celupan cahaya--yang lapan2--akan dirangkul itu cahaya dalam pertaubatan kepadaNya. Ada yang membaca ayat-ayat Suci Al-Qur'an dengan indah, tartil dan merdu disertai koor istighfar yang menyayat hati.

Mereka berbalut jilbab yang sangat anggun, walau itu membalut derita yang menggetarkan hatinya: karena tidak ada wanita yang bercita-cita menjadi pelacur, tidak ada gadis yang berdebar hatinya membayangkan alangkah indahnya menjadi tuna susila, tidak ada tubuh fisiknya yang sintal sepanjang masa--mereka seperti kita akan disongsong oleh kematian setelah tubuh ini aus, keriput, melorot pantatnya, tua bangka.

Malam ini mereka diajak untuk memiliki pengetahuan akan masa depan dirinya, setelah terbukti bahwa pemerintah pun tak bertanggung jawab kepada mereka sebagai warga negara, ormas agama pun tak mengentaskannya, parpol pun tak membebaskannya, mereka yatim dalam kehidupan bernegara, mereka menangis dalam sunyi--menjerit di kedalaman hati.

Aku tertunduk malu, kesalahan sepenuhnya tidak hanya pada mereka, namun juga pada diriku sendiri karena tak peduli itu. Ketika aku diminta Cak Nun memberi sepatah kata--aku tak sanggup--pada akhirnya aku persilahkan anakku Syahiq menyuguhkan sebuah lagu dari Michel Jackson diiringi Kiai Kanjeng: Yoa are not aloon, kamu tidak sendiri.

Maknanya, dalam puncak derita kalau hamba ini menggesa: Wahai Ya Allah, maka Dia menjawab: Wahai hambaKu, Akulah Allahmu. Hal ini aku hadiahkan kepada mereka semua, sebagai petikan hikmah dari Rejeban, saat Kanjeng Nabi saw sendiri setelah kematian istri dan pamannya dalam tahun yang sama--sebagai tahun duka cita itu....

Kawan-kawan, setelah usai acara dini hari Cak Nun dan Kiai Kanjeng pulang ke Jogja, aku menemani panitianya, ternyata disitu ada sebuah pesantren Jauharatul Hikmah yang dikelola oleh anak-anak muda, Kiai-kiai muda. Pesantren kecil ini dulunya adalah wisma Dolly yang mereka rubah menjadi tempat mengaji bagi anak-anak warga Dolly, merubah tanpa pertumpahan darah, merubah dengan Cinta.

Dan momen ini aku tulis di tempat temanku Kaji Haris bersama Kang Rudd Blora, untukmu kawan-kawan, teriring do'a: semoga jeritan sunyi penghuni Dolly menjadikan Allah dan RasulNya tak tega lalu mengentaskannya.... Amin...


catatan :  

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel