BUIH CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ada pepatah: kuman di seberang lautan tampak sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak, dalam ranah Jawa ada ungkapan: lihatlah tengkukmu sendiri [delengen ghithokmu dewe]. Pernyataan ini tentu hasil dari perasan pengalaman hidup, dimana orang sering cermat mengomentari dan mendiagnosa keburukan orang lain sementara ia lupa kepada keburukannnya sendiri, yang amat sangat besar. Makanya Dia melarang untuk bersikap demikian, disamping lucu tetapi juga menunjukkan kebodohan itu sendiri. Kuncinya adalah: siapakah orang lain itu? Padahal dalam ranah Tauhid Kesatuan, orang lain itu sebenarnya adalah diri kita sendiri.

Lihatlah pernyataan Kanjeng Nabi SAW, bahwa merawat satu orang pahalanya sama dengan merawat seluruh manusia dan membunuh satu orang dosanya sama dengan membunuh semua manusia. Dalam berbagai tulisan aku sampaikan ungkapan Rumi, bahwa dunia bagai sebuah gunung itu, dimana baik dan buruknya tergantung suara kita itu, dan akan kembali kepada kita, baik buruk itu.

Jadinya, kalau aku melihat tulisan atau ungkapan serta tindakan yang mencitrakan keburukan orang lain, maka aku tersenyum saja dengan asumsi: lucu dan silahkan sakit hati sendiri. Mustinya, semua kejadian ini harus direnungkan dan diselami dari sudut pandang yang orkrestatif itu, sehingga nanti ujungnya akan menetes kesadaran bahwa tidak ada yang salah dalam dunia ciptaanNya, kalau orang Jawa paling banter akan menggesa dengan sebuah huruf: Oooo, yang dijadikan suluk dalam dunia pewayangan itu. Makanya orang Jawa punya cara pengalihan yang agung bila menyangkut kritik keburukan dalam bentuk dialihkan kepada wayang, yang asli maknanya adalah bayang-bayang itu, bayang-bayang untuk menerangkan karater, bukan menuding manusianya. Bayang-bayang itu selubung, yang menunjukkan bukan aslinya, sehingga manusia harus ekstra hati-hati manakala menyangkut orang lain, soal keburukan itu, sebab kalau tidak hati-hati maka ia akan berseberangan dengan kehendak CintaNya.

Andai kita memandang samudra, jangan hanya sebatas buihnya karena cara ini akan menutupi semua keberadaan yang terkandung dalam samudra itu, artinya [lagi-lagi] jangan memandang bagian-bagiannya namun pandanglah kemenyeluruhannya itu. Andai benar bahwa buih itu kita pandang, maka ketahuilah bahwa dalam metabolisme samudra buih-buih itu akan diproses dan dikemas menjadi pasir yang indah di pinggir pantai....

Kawan-kawan, kecanggihan sarana media jangan menjadi corong atas kebodohan kita dalam hal menghakimi dan mengomentari pihak lain, jadikan saja kecanggihan sebagai sarana ini untuk tujuan berbagi Cinta dan kasih sayang di bumi, misalnya soal sepakbola nanti malam. Kalau toh ada ketegangan itupun sebagai bunga-bunga, dan aku yakin ketegangan yang tetap disemangati Cinta, pada ujungnya akupun mendendangkan suluk: Oooo.... Bumi gonjang-gajing, Langit kelap-kelap "katon"....

Punten.


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel