BERES CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, ketika orang mengalami sekaratul maut sebenarnya rasa sakit
yang dideritanya itu--dawuh Kanjeng Nabi saw--bagai angin yang
merontokkan daun-daun kering, maknanya dosa-dosa tersisa terakhir
hilang dan musnah--bereslah dia. Orang rata-rata menghindari
penderitaan dan kesusahan karena belum memahami fadlilahnya, sehingga
maunya hidup tanpa derita dan keprihatinan.
Kekasih
Allah itu mengabarkan: barang siapa yang masih dikehendaki baiknya
oleh Allah maka Dia menaburkan padanya musibah atau kesusahan itu.
Memaknai musibah jangan sekedar: kena tsunami, tertimpa gempa, jatuh
dari kendaraan, kena goresan pisau, tak punya kerjaan, putus cinta,
dan berbagai kesusahan lainnya yang tak terhingga. Punten sebelumnya,
ini semua kalau orang Jawa mengatakan: baru mendapat ganjaran atau
hukuman, yang dipahami ujungnya adalah sebagai penebusan
kesalahan--atau kafarat itu.
Jadinya
kalau kita mengalami apapun musibah di luar sekaratul maut itu bagian
dari kado Tuhan yang pada ujungnya, ada hikmah yang tak terhingga
juga bagi yang terkena. Di sinilah, kita harus memahami bahwa Cinta
akan menyucikan segala yang kotor atau najis itu, dan bila tak ada
yang kotor--seperti para KekasihNya--namun tetap mendapatkan musibah
dan penderitaan, maka urgensinya adalah untuk mencemerlangkan iman
yang dimilikinya sampai beliau-beliau itu mendapat anugrah titel:
ulul azmi.
Makanya
Dia mengabarkan dalam kalam sucinya: apakah manusia itu mengira bahwa
setelah mereka mengucapkan: aku beriman, lalu mereka itu tidak diuji?
Ujian selalu bertujuan untuk meningkatkan kelas dan level spiritual
manusia menuju tataran demi tataran yang tiada bertepi itu, yang
dinyatakan Dia dalam Al-Qur'an: sungguh kamu akan menanjak setingkat
demi setingkat.
Aku
punya seorang guru da'i, namanya K.H. Mukhlisin Semarang [Allahu
yarham], beliau seorang orator yang sangat aku kagumi karena
kesederhanaan hidup dan kesederhanaan ungkapan-ungkapannya itu,
mempesonaku. Sejarah beliau menjadi muballigh ternyata sejak beliau
masih di madrasah awaliyah Qudsiyah Kudus, sampai beliau mendirikan
pesantren Al-Uswah di Gunungpati Kodia Semarang Jawa Tengah hingga
meninggal dunia.
Tugas
menjadi muballigh tentu tidak ringan, disamping mengabulkan
panggilan-panggilan yang tak terhingga, beliau masih harus mengurus
keluarganya [anaknya juga banyak], hal ini dialami semua kiai-kiai.
Dari gang-gang kampung, lorong-lorong kota, sampai ke pelosok luar
jawa, hal itu sudah menggiring kepada aspek kefanaan diri sampai
kesehatannya kadang tidak terurus itu karena ingin rasanya umat tidak
kecewa atas undangannya.
Pada
usia yang ke 57 tahun, beliau menderita sakit gula dan dirawat di
Rumah Sakit Sultan Agung Semarang dalam peringgkat keparahan sehingga
koma tak sadarkan diri. Gurunya, Romo K.H. Sya'roni Kudus
berkesempatan menjenguknya di Sultan Agung itu dan berdo'a agar
beliau cepat sembuh. Apa yang terjadi? Setelah Simbah Kiai Sya'roni
pamit pulang, baru sepuluh menit kemudian, istri Kiai Mukhlisin
menelpon Simbah Kiai Sya'roni dengan menangis: Romo Kiai, Abah sudah
tiada. Kemudian Simbah Kiai Sya'roni menjawab lembut: ohh, kalau
begitu Muhlisin sudah "sembuh" beneran, beres sudah.
Ketika
aku melayat di pesanten beliau dengan ribuan pelayat itu, Simbah
Sya'roni memberikan sambutan, kalau aku pahami sebagai kesaksian
cinta dalam pelayanan itu, nampak aura wajahnya tersenyum dengan
tutur kata yang lembut : para ta'ziyin semua, ketahuilah bahwa Kiai
Mukhlisin ini aku sebut waladun mubarok [anak yang diberkahi] karena
sejak dia masih di pesantren Qudsiyah kelas awaliyah, dia sudah
melayani umat untuk berbicara dalam urusan agama, kalau aku pahami
karena saking sibuknya dengan melewati rentang waktu yang teramat
panjang dia itu sebenarnya "kesel" [lelah], makanya
kematian dia ini aku sadari sebagai istirahatnya, cinta telah dia
tunaikan dengan sepenuh kesetiaan, yang namanya manusia itu tetap
punya dosa dan kesalahan, makanya derita sakit yang dialaminya itu
bagian dari pembersihan dari Allah swt, dan dia menjadi khusnul
khatimah [gemuruh diamini para hadirin yang ta'ziyah], beres dia....
Kawan-kawan,
tulisan ini dikedepankan sebenarnya menjadi refleksi bahwa ketika
kita masih hidup juga jangan bangga, karena boleh jadi itu merupakan
kebelum beresan dari kita, sehingga Dia masih "menolaknya"
makanya masih diberi waktu dan kesempatan. Namun kita juga dilarang
dengan segera meminta mati saja, seolah kita merasa cukup atas
pembekalan hidup ini dalam perjalanan menujuNya. Disinilah syair Abu
Nawas yang melegenda itu layak untuk dicermati: Ilahi, aku tidak
pantas menjadi penghuni surga, namun aku juga tidak kuat menjadi ahli
neraka jahiim, terimalah tobatku ini, sesungguhnya Engkaulah Dzat
yang mengampuni dosa yang besar sekalipun [Ilahii lastu
lilfirdausiahla, walaa aqwa 'alannaaril jahiimi, fahablitaubatan
waghfir dzunuubi, fainnaka ghofirudz dzambil'adziimiiii].
Pada
ujungnya aku ingin mengatakan bahwa kalau derita lahiriyah saja bisa
merontokkan dosa-dosa, bisa dibayangkan kalau derita ruhaniyah yang
bentuknya adalah rasa nyeri rindu yang tiada terperi atas
keterpisahan dariNya itu, kita ini kesana-kemari bagai tangis panjang
seorang pengembala di gurun sahara karena rindu itu: Ya Allah,
dimanakah Engkau, dimanakah Engkau, dimanakah Engkau....
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.