BENTO CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono
Rabu, 20 Agustus 2014
Sedulurku
tercinta, biasa dalam sebuah kata mengandung beberapa makna dan
interpretasi, misalnya "bento" ini, dimana aku bermula
mendengar dari nama sebuah lagu dari Mas Iwan Fals. Ternyata kata
bento ini--dalam bahasa Jawa, sebutan bagi orang yang dalam keadaan
kegilaan atau ketidakwarasan jiwa seseorang. Dalam makna yang lain
adalah bila di putus menjadi ben [biarin] dan to [tho], jadinya bila
di Indonesiakan berbunyi: biarin tho!
Ada
makna spiritualnya, dimana bila seseorang melihat sesuatu yang
berbeda dengan dirinya [dari sisi apa saja], maka ia merelakan
seperti apa adanya itu, jadinya: bento. Tetapi ada sudut pandang
lain, dimana kata bento ini menunjukkan keegoisan seseorang bila
melihat sesuatu yang membutuhkan pertolongan lalu dia membiarkannya
begitu saja: bento [Jawa]. Malam ini aku menemukan refleksi dalam
kata bento ini pada sosok yang namanya Gondrong [nama aslinya Ahmad
Zaeni], asli Kendal yang sudah malang melintang di dunia Gambang
Syafaat Baiturahman ini. Umur dia sudah 41 tahun menikah dengan Dyah
berumur 25 tahun, di Rumah Cinta Semarang ini atau di Pesantren
Al-Ishlah ini, kalau di facebook bernama Gondrong Keselek Tembok,
yang sering bikin status aneh-aneh dan unik itu.
Sudah
lama aku anjurkan untuk segera menikah [dan juga sering di"gasak"
temen-temennya] tetapi baru malam ini prosesi ijab kabulnya di
tempatku itu, tepatnya jam 20.00 wib, sukses dan khidmad. Bukan
Gindrong kalau tidak bikin geger dan deg-degan bagi siapa pun juga,
baik mertuanya, orang tuanya, sahabat-sahabatnya, temen-temennya, dan
calon istrinya itu. Betapa tidak, KTP tidak punya sehingga menyumbat
berbagai persyaratan pernikahan, sementara dari pihak istrinya sudah
siap sebulan sebelumnya.
Sebuah
kenylenehan terjadi, pelaksanaan tidak pada tempat calon istrinya,
tetapi di Rumah Cinta ini, sehingga ada pengalihan tempat dari dua
sisi calon temanten ini--antara Kendal dan Pati. Suasana ini
mengharuskan semua isi Rumah Cinta musyawarah untuk Gondrong itu,
sementara dia sendiri sering menghilang entah kemana, dan hape sulit
dihubungi, lalu pada ujung musyawarah menghasilkan kepasrahan, entah
apa jadinya pada hari H yang dia tentukan sendiri. Berbagai asumsi
muncul berkenaan dengan semakin dekatnya hari pernikahan itu,
termasuk jadi apa nggak nikahnya ini.
Ternyata
malam ini aku menyaksikan sendiri atas "bento"nya ini:
orang tua dari Kendal sudah datang satu rombongan keluarga, Romo Budi
sudah datang juga dengan beberapa among tamu yang "ndadak"
ini, bahkan Naib sudah siap sejak setengan tujuh malam, rombongan
dari mertuanya belum datang karena masih perjalanan dari Pati,
sementara dia sendiri dan calon istrinya belum nongol juga. Aku
sendiri yang tadinya diminta untuk menikahkannya, masih dalam
perjalanan dari luar kota. Eh, ternyata begitu aku sampai di Rumah
Cinta, semua yang menyangkut ijab kabul udah selesai, aku salami dia
dan aku pandang dia dalam dandanan yang sangat indah sebagaimana
temanten pada umumnya: peci, jas, dasi, celana panjang biru tua.
Sementara istrinya--Dyah, sudah sedemikian cantik dengan dandanan
temanten ala Jawa pada umumnya.
Begitu
aku duduk di Aula menyalami Romo Budi, rombongan mertuanya baru tiba,
lalu aku bertanya: siapa walinya yang menikahkan? Ternyata memakai
wali hakim dengan surat yang telah ditanda-tangani mertuanya itu.
Acara aku mulai dengan menyebut bahwa ini pernikahan unik, unik
ngantennya, unik persiapannya, unik prosesinya, unik apa sajanya,
malah bagi Romo Budi menyebut sebagai mukjizat--bagiNya apa saja bisa
terjadi dan berjalan dengan kasihNya itu.
Sambutan
antar keluarga aku persilahkan, lalu dari temen-temen Gambang Syafaat
Baiturrahman, dan dilanjutkan dengan persembahan dari keluargaku yang
diwakili oleh Gus Syahiq dengan membaca shalawat badar, bernyanyi
lagu My Love, dan asmaul husnanya Michael Jackson, ditutup You not
alone. Bagi Romo Budi menyuguhkan lagu karangannya saat beliau
dilantik jadi Pastor itu, dan sebuah lagu lagi yang mengisyaratkan
bahwa bagiNya semua bisa terjadi. Dokumentasi diatasi Kang Iwan
Kudus, yang datang bersama istrinya bersama Romo Budi itu.....
Kawan-kawan,kalau
aku ceritakan tidak akan mandeg ini, terserah menurutmu atas kejadian
ini--apa komentarnya--berhubungan dengan kara "bento" itu,
kini semua sudah pulang dari berbagai pihak, termasuk ngantennya itu,
tetapi gremengan orang-orang yang masih terjaga sayup-sayup
terdengar, dan aku tersenyum sendiri: hmmmmmmmmmmmmmm....
Selamat,
Drong!!!
catatan :
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan. Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2 Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.