AKHIRAT CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tencinta, semenjak kecil aku diperdengarkan bahwa akhirat itu kekal, setelah tua ini aku ditunjukkan bahwa kekekalan itu bukan bentuk kenyamanan dan kebahagiaan yang mandeg atau statis itu. Kemudian keterangan tentang surga ternyata dikabarkan tentang bidadari, buah-buahan dan gemericik air sungai-sungai yang biasanya aku sebut kurnia itu. Dan neraka adalah tempat dimana Dia menyucikan hamba-hambaNya dari kesalahan-kesalahan itu.

Dunia ini yang "tetap" adalah perubahan--kata pemikir Iqbal, maka perubahan sebagai sesuatu yang permanen [abadi] merupakan pemahaman tentang perjalanan misteri yang tak bertepi ini. Akhirat lebih baik dari dunia ini, juga menunjukkan makna perubahan yang tetap itu, bagai gelombang samodra yang terus bergerak itu. Kemudian tentang manusia yang dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan telanjang dan dalam betuk sesuai dengan amalnya, mengindikasikan tentang kelahiran-kelahiran kehidupan ini. Kemudian padang mahsyar merupakan suasana dimana manusia akan dikumpulkan menurut kelompok-kelompok atau rombongan-rombongan menurut yang mereka cintai ini. Setelah itu akan ada timbangan yang akan menentukan surga neraka manusia itu.

Dari sudut ini aku pernah membaca keterangan Kanjeng Nabi bahwa ada suasana surga yang diturunkan di bumi dan ada suasana neraka yang diturunkan di bumi, bahkan Allah menyatakan dalam Al-Qur'an: bagaimana kamu bisa tidak percaya kepada Allah, tadinya kamu mati dihidupkanNya, lalu dimatikanNya, lalu dihidupkanNya kembali, hanya kepadaNya lah tempat kamu sekalian kembali.

Kalau orang memahami bahwa Tuhan juga ingin dikenal, dengan bentuk nyata tajalliNya ini, tentu berkaitan juga dengan pernyataanNya: semua yang tercipta tidak ada yang sia-sia dan tidak ada yang salah dalam semua ciptaan ini. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa hari-hari perhitungan dan surga maupun neraka terjadi dalam perjalanan abadi ini, dalam bentuk siang malam dan langit bumi, semua serba simbolik dan tentu perlu dicermati essensi atau hakekatnya itu. Rumi juga menyatakan bahwa manusia [kita] telah mengalami jutaan kematian dan jutaan kelahiran itu, menujuNya.

Ketika aku melihat tragedi, tentu ada empati dalam diriku namun dalam pemahaman bahwa tidak ada yang salah dalam dunia citaanNya itu, aku lalu memahami bahwa tragedi itu sekecil apapun dan sebesar apapun itu sebagai "neraka" yang bernuansa sebagi tebusan atas kesalahan-kesalahannya--yang aku tidak tahu secara kemenyeluruhan hidupnya, hanya Dia yang Maha Tahu itu.

Sebaliknya manakala manusia mengalami suasana Taman Kebahagiaan yang disebut "surga" itu bagian dari penghargaan atas amal-amal baik sebelum kehidupan sekarang ini, makanya kalau sekarang manusia sembrono atas karunia surga itu maka akan terhisap pada akhirnya pada traveling hidup berikutnya dengan apa yang disebut "neraka" itu.

Makanya kalau aku melihat orang gila dengan membawa sampah-sampah, aku terbayang kehidupan sebelumnya ia sebagai orang kaya yang tidak mendermakan hartanya, sebagian itu. Kalau aku melihat orang buta, terbayang bahwa boleh jadi ia sebelumnya tak mengenal Tuhan itu, atau kebiasaannya melihat kemaluan dirinya atau kemaluan orang lain itu. Kalau aku melihat pejabat yang tidak adil dan korupsi, terbayang olehku, itu merupakan "tiyang gantungannya" sebab sebelumnya ia tidak amanah itu.

Kalau aku melihat orang membayar tragedi sekarang, aku yakin mereka akan memiliki kehidupan di Taman Kebahagiaan di akhir nanti. Kalau orang dicipta bisu, boleh jadi merupakan indikasi ketika hidup sebelumnya ia suka mengktitik orang lain dengan sesuka-suka menurut egonya itu. Kalau rumah tangga tidak harmoni, ada indikasi boleh jadi diantara mereka sebelumnya suka menyakiti suami atau istrinya itu. Kalau ada yang cacat fisiknya [misalnya, amit sewu, apa saja bentuknya] ada indikasi sebelumnya ia telah berbuat aniaya kepada sesamanya itu....

Kawan-kawan, kalau sekarang engkau semua empati dan peduli membantu orang-orang yang menebus kesalahan-kesalahannya, itu bagian dari keindahan hidupmu yang memberi pertolongan atau "syafaat" itu. Dan aku yakin, hidupmu di akhir yang sedemikian terus, maka engkau akan menikmati suasana surga abadi, namun bagi yang tidak rela atas perhitungan di dunia ini, boleh jadi ia akan mengalami suasana neraka abadi.

Dari abstraksi ini, menjadikan aku harus selalu melihat diriku sendiri: keburukanku, kebodohanku, kehinaanku, kemalasanku, kebakhilanku, kesombonganku, ketidak adilanku, dan seterusnya agar memperbaiki diri, sebelum di akhirat nanti, agar nerakaku tidak abadi. Kemudian aku hanya melihat kebaikanmu semua kawan, aku membayangkan diperjalanan nan abadi ini memiliki anugrah mata yang indah, semakin indah, semakin indah, semakin indah, semakin indah, yang memiliki tatapan mata Cinta...

Sekarang kita ternyata dalam pengadilanNya, dan alangkah naifnya itu orang-orang yang mengadili orang lain yang sudah kuyup dalam perhitunganNya ini, kini gemetar segenap sendi tulangku, aku menangisi tragedi orang lain sebagi tangis kasih sayang, dan aku menangisi diriku sendiri atas aib-aibku ini, ampuni aku ya Rabb, ampuni aku, ampuni aku, ampuni aku....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel