ADZAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulur tercinta, ketika aku ada acara di Solo menginap di Hotel Dana, sebelah barat Hotel itu ada mushalla, pas ada adzan Dhuhur. Aku simak kalimatnya sudah benar tetapi dibungkus dengan suara yang belum indah, kalau boleh digambarkan seperti menyulut mercon itu. Semua orang suruh mendengar ledakan itu tetapi yang menyulut ditutupi telinganya. Aku turun dan sempat menanyakan dari alumni mana dia.

Substansi adzan itu panggilan untuk menegakkan shalat dan panggilan mencari keberuntungan, dengan cara secara ritual, menghadirkan Tuhan di hati. Dengan kehadiran Tuhan di hati akan mewujudkan diri manusia menjelma menjadi cinta. Maknanya setiap apa yang menjadi gerak-geriknya menebarkan kesenangan dan kegembiraan hidup. Dengan demikian hati tidak sekedar segumpal darah, tetapi seluruh tubuh menjadi hati, setiap sendi yang digerakkan atas kehendak Allah akan mewujud menjadi nilai sedekah yang akan membikin manusia tersenyum.

Muadzin ini dalam ranah Syariah tidak masalah--sudah benar--tetapi dalam ranah muamalah yang bernuansa adab menjadi masalah. Kalau toh yang menjadi acuan Kanjeng Nabi, tentu beliau punya muadzin yang indah suaranya itu, Bilal. Sementara muadzin ini mengacuhkan kehidupan secara sosial, dengan menampilkan citra panggilah kepada Tuhan Yang Maha Indah dan suka kepada keindahan ini, dengan suara buruk, menghentak-hentak.

Aku yakin, andai Kanjeng Nabi masih hidup pasti dia tidak diperkenankan untuk menjadi muadzin, paling banter diperintah mengembala onta atau kambing. Aku membayangkan juga, Ibu-Ibu itu secara aturan masakannnya bagus, enak bahannya, tetapi kalau cara menawarkan kepada suami dengan nada seperti muadzin bersuara buruk itu, pasti suami mana yang mau mensyukuri masakan Ibu-Ibu seperti itu.

Aku bayangkan juga, para mubaligh-muballigh itu banyak yang bersuara buruk seperti muadzin itu. Secara teks normatif tidak salah, seperti kalimat adzan itu tidak salah, sudah benar. Keburukan panggilan itu terletak adanya kepentingan pribadi atau kelompok, yang menjadikan citra Islam sebagai rohmatan lil 'alamin menjadi runtuh, tidak terbukti dalam ranah kemesraan sosial. Bahkan hanya kepingin merendahkan orang lain, memperolok-olok pihak lain memakai legitimasi dalil-dalil, ujungnya hanya untuk membenarkan diri dan kelompoknya.

Kalau ini dilakukan, bukankah sebenarnya mereka menyembah berhala abstrak yang menempel pada dinding-dinding hatinya, mungkin lebih banyak dari berhala yang mereka olok-olok itu? Adzan, sarana panggilan beribadah secara ritual berati harus benar dan indah, demikian juga penyeru Islam, kalau toh digambarkan bagai muadzin, ya tentu secara tekstual benar, namun secara kontekstual juga harus indah, inillah adzan Cinta….

Kawan-kawan, dengan cara demikian umat tidak sekedar cinta agama, namun mengedepankan agama Cinta. Selanjutnya umat juga tidak sekedar larut dalam ritual ajaran, namun juga ikut membereskan kehidupan dengan pelayanan-pelayanan, secara universal, sebagai tanda keikhlasan, tanpa campuran….

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel