Komunikasi Gawat Darurat …

Komunikasi Gawat Darurat Dalam perjalanan mudik ke Salatiga, sebut saja Y beserta suami dan anaknya yang masih berusia 5 tahun, mengalami

kecelakaan di daerah Sleman dimana sepeda motor yang dinaikinya tersenggol bus. Dalam kejadian tersebut suaminya
meninggal di tempat, Y dan anaknya terluka parah. Mereka dibawa ke sebuah puskesmas pembantu terdekat. Namun
karena terbatasnya peralatan di puskesmas pembantu tersebut, Y hanya diberikan pertolongan pertama dan diinfus untuk
selanjutnya dirujuk ke Rumah Sakit yang lebih besar.


Sekilas, tidak ada masalah yang terjadi disini. Namun dalam keadaan panik dan terluka parah sambil menunggu proses
pemindahan ke RS yang lebih besar Y terus menerus bertanya mengapa dia tidak ’diapa-apain’, mengapa dokter tidak
melakukan apa-apa padahal seluruh tulang rusuknya remuk dan jawaban dokter setiap ditanya hanyalah ’tunggu keluarga
datang’. Rupanya, Y langsung berasumsi bahwa yang dimaksud dengan kata-kata ’tunggu keluarga datang’ sama dengan
’selesaikan semua administrasinya alias ada jaminan pembayaran baru pasien ditangani’.


Ketika menengoknya di RS tempat ia dirawat kemudian, Y masih dengan berapi-api mengungkapkan kemarahannya
bahwa rasanya saat itu ketika keadaannya sudah di ambang kematian sekalipun, petugas medis masih harus
memastikan dulu urusan administrasi beres sebelum melakukan tindakan.


Saya mencoba mendengarkan dengan baik dan mencermati kronologis permasalahannya. Rasanya hal-hal semacam ini
seringkali terdengar. Dalam kasus Y, sebenarnya pihak puskesmas pembantu sudah melakukan semua tindakan medis
yang mungkin dilakukan dalam kondisi tersebut sesuai prosedur dan kapasitasnya. Namun mengingat keterbatasan
peralatan, tidak semua pemeriksaan dapat dilakukan saat itu, misalnya untuk foto rongent tentu saja harus dirujuk ke RS
yang menyediakan fasilitas tersebut.


Bisa dipahami, kondisi pasien yang schock akibat kehilangan suami dan luka parah yang dideritanya serta kondisi sang
anak tentu membuatnya panik. Secara psikologis dia berharap segera mendapatkan pertolongan atau perawatan terpadu
seperti yang sering dilihat di film ER. Sama sekali tidak menyadari bahwa dia sedang berada di sebuah Puskesmas
Pembantu.


Masalah ini jika dilihat dari perspektif dan sedikit perlakuan yang berbeda akan menimbulkan kesan yang berbeda pula.
Yang dimaksud dengan ’tunggu keluarga datang’ oleh pihak Puskesmas Pembantu saat itu adalah, kami sudah
melakukan pertolongan pertama dan untuk tindakan selanjutnya yang membutuhkan tenaga medis dan peralatan yang
lebih memadai Anda harus dirujuk ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas lebih baik. Detil teknis mengenai hal ini lebih
baik dibicarakan dengan pihak keluarga, dengan asumsi kondisi pasien tidak memungkinkan untuk menerima segala
informasi tersebut. Inilah pesan yang sebenarnya ingin disampaikan tapi kemudian ditangkap sangat lain oleh pasien
karena stereotipe yang sudah begitu melekat di kata-kata ’tunggu keluarga datang’.


Menakjubkan, bagaimana sebuah kalimat/pesan bisa diartikan sangat lain oleh penerima pesan.
Dalam situasi seperti itu kadang petugas medis terjebak pada pemikiran bahwa, tidak memungkinkan
mengkomunikasikan sesuatu berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan diambil pada pasien dengan kondisi
parah mengingat faktor ketidaksiapan pasien untuk menerima informasi dalam kondisi tersebut.
Lalu, bagaimana menyampaikan dengan tepat tanpa menyumbangkan faktor yang memperburuk kondisi pasien?


Dalam kasus Y tersebut, mungkin bisa dicoba kemasan pesan yang lebih informatif dari sekedar ’tunggu keluarga
datang’. Misalnya, sampaikan bahwa sudah dilakukan pertolongan pertama pada Anda dan karena keterbatasan petugas
medis dan peralatan yang dimiliki puskesmas pembantu ini, maka pemeriksaan dan perawatan selanjutnya akan dirujuk
ke Rumah Sakit A.


Berikan pesan singkat yang informatif, sedapat mungkin mudah dicerna oleh pasien sehingga pasien tidak dibiarkan
menjadi mahluk tak berdaya yang harus menunggu sambil bertanya-tanya dan membuat asumsi-asumsi yang
berkembang menjadi lebih buruk dalam setiap detik penantiannya. Buat pasien tenang dengan informasi tersebut.
Terkadang ketika menunggu tindakan yang akan diberikan, pasien seringkali merasa diabaikan karena tidak ada
konfirmasi dari petugas medis yang menanganinya. Lebih baik komunikasikan bila memang pasien harus menunggu
beberapa saat untuk observasi terlebih dahulu.


Membangun komunikasi yang baik di saat gawat darurat memang sulit. Apalagi dalam kondisi tersebut tentunya yang
lebih diutamakan adalah bagaimana menolong pasien secepatnya. Tapi tidak ada salahnya untuk mengurangi
kesalahpahaman yang sering terjadi, kualitas berkomunikasi antara petugas medis dengan pasien perlu untuk terus
ditingkatkan. Terlepas dari situasi gawat, pasien yang harus ditangani banyak dan betapa lelahnya petugas medis telah
bekerja, sangat penting untuk tetap menjaga agar komunikasi dengan pasien berjalan baik.


Sudah seringkali kita mendengar keluhan pasien tentang dokter yang pendiam, tidak sabaran alias tidak mau
mendengarkan keluhan pasien sampai tuntas, pelit informasi dsb. Pasti ada alasan mengapa akhirnya muncul persepsi
yang memprihatinkan ini. Profesi dokter yang begitu mulia tidak seharusnya berakhir dengan stereotipe negatif semacam
itu hanya dikarenakan kejadian yang seharusnya bisa diciptakan dengan lebih baik dan berkualitas.


Seandainya pun, dokter sudah sangat lelah karena padatnya aktifitas, pasien yang harus ditangani begitu banyak, jadual
jaga yang tidak menyisakan waktu istirahat sama sekali dan seabrek alasan lain. Tapi masalahnya apakah pasien tahu
dan memahaminya? Perlu diingat bahwa ketika seseorang terbaring sebagai pasien, ia hanya ingin diperiksa dan
diperlakukan dengan sepenuh perhatian mungkin. Pada saat itu sensifitasnya akan meningkat, jadi boro-boro mau
memikirkan, ’wah dokternya mungkin capek ya makanya dia jarang ngomong dan buru-buru..’ Yang akan terjadi justru
sebaliknya, makanya kemudian berkembang persepsi negatif tersebut.


Lalu bagaimana cara mengatasinya?
Jangan pernah lelah untuk menciptakan komunikasi yang baik. Dari beberapa kejadian, senjata ini terbukti cukup mujarab
untuk membangun hubungan yang baik dengan pasien dan menghindari kesalahpahaman yang berujung dengan
berbagai tuduhan malpraktik yang makin marak akhir-akhir ini. *


Epti Andaryanti, S. Sos, Praktisi Public Relations, Praktisi Public Relations, e-business dept PT Oto Multiartha–Sumitomo
Corp
Sumber: Kompas Cyber Media




sumber : duniaesai.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel